Jumat, 12 Desember 2014

Kisah lucu Sultan Yogya dimarahi & ditodong TNI penjaga istana

Reporter : Ramadhian Fadillah
Merdeka.com - Sri Sultan Hamengkubuwono X memilih mengalah saat rombongan Presiden Jokowi melintas. Dia ikut menepi saat voorijder pengawal Jokowi memerintahkan rakyat memberikan jalan untuk rombongan pejabat.

Aksi Sultan X ini mengingatkan apa yang dilakukan oleh ayahnya, Sultan Hamengkubuwono IX. Sang Raja Jawa ini memang dikenal egaliter. Tak mau disanjung berlebihan, tapi justru karena itu Sultan Yogya sangat dihormati dan dicintai oleh rakyat dan seluruh penduduk Indonesia.

Ada kisah menarik soal Sultan HB IX. Lagi-lagi gara-gara Sultan tak mau pakai pengawal dan pakai mobil biasa saat blusukan.

Pada Bulan Oktober 1950, Sultan HB IX menjabat wakil perdana menteri di Kabinet Natsir. Bersama A Halim yang menjabat Menteri Pertahanan ad interim, mereka menuju Istana Bogor untuk meninjau proses renovasi.

Kisah ini dituliskan AR Baswedan dalam buku Tahta Untuk Rakyat yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 2011.

Halim menyopir sendiri mobil itu, bergantian dengan Sultan. Tak ada pengawal atau ajudan yang menyertai mereka.

Saat tiba di Istana Bogor, penjaga di pos depan istana tak memperhatikan mobil yang masuk. Sultan dan Halim pun segera masuk Istana tanpa melapor.

Tiba-tiba beberapa orang penjaga dari Polisi Militer segera sadar. Mereka bergegas mengejar mobil itu. Mobil Sultan dihentikan dengan todongan senjata.

"Hei, apa-apaan ini! Stop segera!" teriak para penjaga Istana.

Komandan Polisi Militer itu menghampiri Halim. Dia membentak menteri pertahanan itu dengan mata melotot.

"Kenapa masuk saja tanpa berhenti lebih dulu? Apa tidak lihat penjagaan?" bentaknya.

Halim mengeles. "Saya hanya sopir, dan karena tidak ada orang yang menyuruh berhenti saya terus saja. Lagipula Tuan yang berada di sebelah saya ini tidak menyuruh saya berhenti," kata Halim sambil melirik Sultan.

Sultan diam saja. Para prajurit itu semua mengerubungi mobil tersebut, mencoba mengenali siapa orang di samping sopir tersebut. Tiba-tiba mereka tersadar.

"Apakah Bapak bukan Sri Sultan?" tanya pemimpin mereka.

Sultan mengangguk. Para tentara itu langsung terperanjat. Siapa yang tidak gentar mengingat Sultan HB IX dan perjuangannya mempertahankan Yogyakarta selama agresi militer Belanda.

"Siaaap! Beri Hormaaat!" teriak sang komandan sigap. Perintah ini lalu spontan diikuti seluruh anak buahnya.

Sultan tak marah dengan penodongan dan bentakan para penjaga itu. Dia segera melakukan peninjauan. Bahkan sempat makan duku di pinggir kali Ciliwung yang membelah Istana.

"Ketika dua jam kemudian kami meninggalkan istana untuk pulang, di pintu gerbang telah siap satu kompi untuk memberi hormat pada mobil kami," kenang Halim

Sabtu, 22 November 2014

Kisah heroik Jenderal Jasin maju hentikan perang Brimob vs TNI

Jenderal Moehammad Jasin. ©buku Gramedia Pustaka Utama/Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang
MERDEKA.COM. Pertengkaran antara TNI dan Brimob rupanya sudah sejak lama, dan bukan cuma di Batam saja. Di tahun 1950an kisah serupa sudah terjadi di tempat lain.

Saat itu Brimob masih bernama Mobiele Brigade. Di Maluku, ada dua kompi yang bermarkas di Ambon dan Tantui, yang berjarak 8 km dari Ambon. Lokasinya asrama Tantui berada di perbukitan. Sementara komandannya bernama Lesnusa. Satu kompi berkekuatan sekitar 100 orang.

Dua kompi itu kebanyakan pemuda Maluku. Mereka direkrut kepolisian untuk menghindarkan para pemuda Ambon dari ajakan Republik Maluku Selatan (RMS) untuk memberontak.

Suatu hari, seorang anggota Mobiele Brigade berkelahi dengan tentara. Penyebabnya sepele, cuma gara-gara rebutan pacar. Akhirnya si anggota MB ditahan oleh Corps Polisi Militer (CPM).

Lesnusa segera memerintahkan wakilnya, Soedirman ke tempat CPM untuk meminta penjelasan. Namun malah Soedirman ikut ditahan tanpa alasan yang jelas.
Kisah ini ditulis dalam Buku Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 2010.

Amarah para anggota Mobiele Brigade memuncak. Mereka naik empat truk dengan senjata lengkap dan menyerang markas CPM. Pasukan polisi militer dilucuti, para tahanan dilepaskan dari sel. Mereka bergerak tanpa seizin Lesnusa.

Komandan Militer Maluku Kolonel Soekawati berang atas tindakan ini. Dia mengambil langkah keras dan mengultimatum pasukan Mobiele Brigade menyerahkan diri. Jika ultimatum tak dipenuhi, markas Tantui akan diserbu.
{content-split}

Namun ultimatum diabaikan pasukan Mobiele Brigade. Pihak tentara bukannya menyerang, tapi malah mengulang ultimatum sampai empat kali. Rupanya Kolonel Soekawati sadar kemampuan pasukan Mobiele Brigade ini sangat tangguh. Dia ingat waktu Mobiele Brigade ribut dengan marinir, malah marinir yang disergap dan dilucuti lebih dahulu.

Kolonel Soekawati sampai meminta bantuan Angkatan Udara dan Angkatan Laut untuk ikut menyerang Tantui. Sementara Kompi Mobiele Brigade tetap teguh pendirian dan berada dalam posisi siaga.

Saat itu situasi Kota Ambon tegang. Gubernur dan Kepala Polisi Maluku tak mampu mengatasi situasi ini. Maka khusus dipanggilah Panglima Korps Mobiele Brigade Indonesia Kombes M Jasin ke Ambon.

Siapa yang tidak kenal M Jasin saat itu? Dia dan pasukan Polisi Istimewa berjasa besar saat pertempuran 10 November 1945. Jasin juga yang berani menangkap Mayor Sabaruddin, yang sangat ditakuti di Jawa Timur.

Bahkan Kolonel Soekawati juga rupanya hutang nyawa karena pernah diselamatkan Jasin di Madiun. Karena itu begitu Jasin datang ke Maluku, Soekawati langsung memberikan kesempatan padanya untuk menyelesaikan masalah Mobiele Brigade di Tantui.

Dari pihak militer M Jasin menerima informasi Kompi Tantui sudah liar dan tak akan mendengarkan perintah dari Panglima Mobiele Brigade. Namun Jasin yakin, apapun risikonya, masalah ini bisa diselesaikan.

Jasin berangkat ke Tantui, hanya berdua dengan ajudan. Di bawah bukit dia melihat tentara siaga mengarahkan mortir dan senapan mesin ke arah Tantui.
{content-split}

Sempat terbersit rasa khawatir dalam diri Jasin. Bisa saja dia disangka musuh dan malah ditembak oleh pasukannya sendiri. Namun Jasin bukan pengecut. Di dekat pertahanan Mobiele Brigade dia berteriak.

"Lesnusa! Keluar!" teriaknya.

Yang keluar bukan Lesnusa, tapi tiga anggota Mobiele Brigade berwajah seram dengan bayonet teracung membentak M Jasin.


Untungnya Lesnusa keluar. Dia langsung sigap memberi hormat. Melihat itu, anak buahnya spontan ikut memberi hormat. Jasin pun memanfaatkan momen tersebut.

"Apa Lesnusa masih taat kepada saya?" tanya Jasin.

"Taat, Pak!" jawab Lesnusa.

Jasin memerintahkan Lesnusa segera membariskan pasukan kompinya. Mereka tampak beringas dengan ikat kepala merah.

"Ini panglima kita dari Jakarta. Hormaaat Grak!" kata Lesnusa.

Jasin langsung memberikan wejangannya. "Anak-anakku yang gagah berani. Saya Panglimamu, merasa bangga akan sikap kalian yang pantang menyerah karena kalian setia pada RI. Panglimamu tidak sedikit pun percaya terhadap tuduhan bahwa kalian adalah RMS!"


"Itulah semangat Pattimura. Apakah kalian taat pada Panglimamu?" kata Jasin.

"Siap. Taat!" balas mereka.

Jasin berhasil menguasai mereka. Dia juga menemui keluarga para anggota Mobiele Brigade. Semua lega masalah ini selesai.

Jasin sadar psikologis pasukan Mobiele Brigade dari Maluku. Jika mereka dimarahi dan dikasari malah akan melawan. Mereka harus diberi wejangan, dengan pujian sehingga sadar.

"Kolonel Soekawati sangat gembira atas keberhasilan menyelesaikan masalah. Dia mengucapkan terima kasih sekaligus meminta maaf memanggil saya khusus dari Jakarta jauh-jauh," kata Jasin.

Jasin kemudian memerintahkan 2 kompi pasukan Mobiele Brigade di Maluku dikirim ke Jakarta untuk dilatih kembali. Penggantinya didatangkan dari Jawa sebanyak 2 kompi.

Jasin kelak dikenal sebagai Bapak Brimob Indonesia. Pangkat terakhirnya Komisaris Jenderal.

Sabtu, 18 Oktober 2014

Tak Ada Keluarga Bung Karno di Peresmian Museum Presiden

Istana Bogor. (TEMPO/ALI SAID)
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Museum Balai Kirti di Istana Bogor yang berisi seluruh peninggalan enam presiden, sejak Soekarno hingga SBY. Sayangnya, tak satu pun anggota keluarga Sukarno ataupun Megawati Soekarnoputri hadir.

Satu-satunya mantan presiden yang hadir adalah B.J. Habibie. Perwakilan keluarga Cendana yang hadir adalah Siti Hadiati Rukmana alias Titiek Soeharto. Sedangkan keluarga Gus Dur diwakili Sinta Nuriah dan Yenny Wahid.

"Selamat datang perwakilan Sukarno dan Megawati," kata master of ceremony Tia Dian di Istana Bogor, Sabtu, 18 Oktober 2014.

Namun, sejauh pantauan, tak ada satu pun tamu undangan yang hadir di gedung induk Istana Bogor berasal dari keluarga Sukarno ataupun Megawati.

Balai Kirti adalah museum yang digagas secara pribadi oleh SBY pada 2012, bertujuan mendokumentasikan peninggalan dan mengenang para presiden. Pembangunan dilakukan sejak 2013 dalam kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum, serta Kementerian-Sekretariat Negara.

FRANSISCO ROSARIANS

Sabtu, 13 September 2014

Soekarno Pernah Perintahkan Penghancuran Tugu Obelisk atau Tugu Linggarjati

Dhani Irawan - detikNews
Jakarta - Soekarno pernah berpidato menyinggung tugu berbentuk obelisk yang disebut sebagai tugu Linggarjati. Dalam pidato di sidang pleno Depernas (Bapenas sekarang-red) di Bandung pada 13 Agustus 1960, dia menyebut tugu obelisk itu sebagai tugu Linggarjati, bukan tugu proklamasi.

Dalam pidato yang dikutip dari dokumen Bapenas, Sabtu (13/9/2014) Soekarno meminta tugu itu dibongkar saat 17 Agustus 1960.

"17 Agustus ini, akan saja perintahkan membongkar tugu Linggardjati itu, agar supaja nanti djikalau kita mentjangkul, ajunan tjangkul kita jang pertama, itu berarti bahwa kita di Pegangsaan Timur 56 itu akan mendirikan kita punja tugu proklamasi, persis ditempat dimana dulu proklamasi dibatjakan," tegas Soekarno.

Tak hanya itu saja, Soekarno dahulu juga sempat meminta pembongkaran rumah di Pegangsaan Timur itu. Tugu Proklamasi dahulu merupakan kediaman Soekarno, tempat pembacaan Proklamasi.

"Dan keinginan saja pribadi, sebagai arsitek, ialah supaja gedung jang dinamakan gedung proklamasi itu diratakan dengan muka bumi. Sebaliknja di situ untuk tugu sadja jang mendjulang kelangit 17 meter tinggi, terbuat daripada perunggu, sekelilingnja satu taman jang indah, dimana kita punja anak-anak kita bersenang-senang setiap hari," tutur Soekarno.

Tugu berbentuk obelisk itu masih berdiri kokoh di tempatnya. Di tugu setinggi dua sampai tiga meter dengan puncak berbentuk prisma itu tertempel keterangan, 'Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia Atas Oesaha Kaoem Wanita Djakarta'. Sementara di sisi sebaliknya ada pula 2 buah ukiran plakat.

Plakat‎ pertama yaitu salinan teks proklamasi yang dibacakan Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 saat menyatakan kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, plakat lainnya berada di bawah plakat itu yang berupa gambar peta wilayah Indonesia yang berupa kepulauan.

Tak jelas informasi mengapa tugu itu dinamai Soekarno tugu Linggarjati. Mungkin saja ada kaitan dengan perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati di kawasan Kuningan dan Cirebon, Jawa Barat.

Kamis, 04 September 2014

Rahmat Ono, Samurai Jepang murka lihat koruptor di Indonesia

Rahmat Ono, Samurai Jepang murka lihat koruptor di Indonesia
MERDEKA.COM. Rahmat Shigeru Ono tiba-tiba berteriak marah. Dia kesal luar biasa melihat tayangan berita seorang koruptor ditangkap KPK. Parahnya, koruptor tersebut nampak tak menyesal. Dia masih bisa tertawa pada para wartawan yang meliput di tangga KPK.

"Bodoh! Tidak malu! Harusnya korupsi itu malu dan bunuh diri," teriak Rahmat Ono.

Kisah tersebut diceritakan Agoes Soetikno (56), putra Rahmat Shigeru Ono saat menerima merdeka.com di Malang, Jawa Timur pekan lalu.

Rahmat Shigeru Ono adalah mantan tentara Jepang. Dia kemudian lari dari kesatuannya dan ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Rahmat melatih para pemuda Indonesia soal kemiliteran dan intelijen. Dia juga sering memimpin serangan terhadap tentara Belanda semasa perang kemerdekaan.

"Papi selalu marah lihat berita soal korupsi. Dia merasa perjuangannya dan kawan-kawannya dulu mempertahankan kemerdekaan dikhianati. Banyak teman-teman Papi yang gugur semasa perang kemerdekaan. Dia merasa sedih melihat setelah merdeka malah pada korupsi," lanjut Agus.

Agoes pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Banjarbaru di Kalimantan Selatan. Dia ingat, setiap ada berita korupsi DPRD atau anggota DPRD yang ditangkap KPK, ayahnya langsung telepon.

"Awas kamu kalau korupsi. Papi selalu bilang jangan korupsi," kenang Agoes.

Erlik Ono (47), putri Rahmat Shigeru Ono juga menceritakan pengalaman serupa. Kebetulan Erlik bekerja di Dirjen Pajak. Saat ramai kasus mafia pajak Gayus Tambunan, Erlik pun dicereweti sang ayah.

"Kamu nggak takut kerja di Pajak? tanya Papi. Saya bilang saya nggak korupsi kayak Gayus, buat apa takut," kenang Erlik sambil tertawa.

Erlik ingat peringatan ayahnya bukan hanya sekali dua kali memperingatkan mereka supaya jujur. Kalau soal ini, Rahmat Ono terkenal keras. Pesan supaya tak korupsi terus disebut Rahmat Ono hingga meninggal dalam usia 95 tahun, Senin (25/8) lalu.
"Papi pernah kerja di perusahaan Jepang di Jakarta. Jika dia mau, dia bisa saja memanfaatkan jabatan tapi dia tetap tidak mau," kata Agoes menambahkan.

Rahmat Ono lahir pada 26 September 1918 di Prefektur Hokkaido. Meninggal di tempat yang sangat jauh dari tanah kelahirannya. Dia selalu merasa Indonesia adalah tanah airnya. Sang samurai bangga pernah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, walau harus kehilangan tangan. Dia tinggal dan meninggal di Indonesia.

Maka tak malukah pejabat yang bisa merdeka karena perjuangan Rahmat Ono dan kawan-kawannya kini malah bergelimang hasil korupsi?

Kamis, 28 Agustus 2014

Jimat Penguat

HISTORIA.CO.ID - Para pemberontak Banten yakin dengan jimat dapat memenangi perang.
PADA 29 September 1887, para pemberontak berkumpul di rumah pimpinan mereka, Haji Wasid, untuk membahas pengumpulkan senjata. Namun para kiai berpendapat sebaiknya tak usah mencari senjata api. Alasannya, mayoritas pemberontak belum bisa menggunakannya. Untuk mendatangkannya dari luar Banten juga sulit. Mereka bisa mengandalkan kelewang dan yakin akan memenangi perang suci melawan Belanda dan antek-anteknya. 
http://www.historia.co.id/
Selama tiga bulan terakhir tahun 1887 hingga pertengahan tahun 1888, para pemberontak mempersiapkan diri dengan kegiatan pencak silat, pengumpulan dan pembuatan senjata, dan propaganda ke luar Banten. “Kegiatan lain terus dilakukan, seperti membakar semangat dengan khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil dan mendorong mereka untuk memakai jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Dalam lampiran laporan Kontrolir Serang tanggal 19 Mei 1889 No 16, Snouck Hurgronje menerjemahkan jimat Arab yang digunakan para pemberontak Banten itu. Menurutnya, sebagaimana dikutip E. Gobée dan C. Adriaansee dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, jimat itu bertuliskan: “Inilah penyelamat yang diberkahi. Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ya Allah, ya Yang Hidup, ya Yang Berdiri Sendiri, Engkaulah kujadikan kekuatanku. Maka lindungilah aku dengan perlindungan selengkap-lengkapnya penjagaan...”
Di dalam jimat juga terdapat gambaran berkekuatan mistik, berupa sebuah lingkaran yang dikelilingi nama empat malaikat tertinggi dan nama-nama Allah; Muhammad; (empat khalifah) Abu Bakar, Umar, Usman, Ali; (putra-putra Ali) Hasan, Husain; (dua sahabat Nabi Muhammad) Sa’ad dan Sa’id; sementara di tengahnya terdapat surat Thaha ayat 39. Ada pula gambar pedang Ali bermata dua. Termaktub di situ: “Tidak ada orang [pahlawan] selain Ali, dan tidak ada pedang selain Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar).”
Menurut Seyyed Hossein Nasr, ungkapan “tidak ada orang (pahlawan) selain ‘Alî, dan tidak ada pedang selain Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar)” atau “la fata illa ali, la saifa illa dzu al-fiqar, (dzu al-fiqar adalah pedang bermata dua terkenal milik Ali)”, secara tradisional dinisbahkan kepada Malaikat Jibril, yang dia sampaikan kepada Nabi.
“Pribadi Ali yang bijak sekaligus ksatria, perenung sekaligus pelindung, sepanjang abad senantiasa mendominasi seluruh horizon futuwwah atau Keksatriaan Spiritual,” tulis Hossein Nasr, “Kekesatriaan Spiritual”, termuat dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Tentu saja, futuwwah yang diinginkan para pemberontakan Banten dari jimat itu adalah “keksatriaan fisik”.
Hurgronje juga menulis, “Selebihnya... jimat ini hanya memuat doa-doa pengampunan dosa dan rahmatan ‘ind al-maut (rahmat dalam kematian).”
Naskah tersebut, lanjut Hurgronje, pasti dibuat dengan pertimbangan gerakan di Banten dan dapat dipakai sebagai jimat untuk Perang Sabil.
Jimat itu, tulis Martin van Bruinessen, diperoleh dari Mekah karena Mekah dianggap sebagai pusat kosmis utama dan sumber ngelmu atau kesaktian. Dalam kosmologi Jawa, seperti halnya kosmologi Asia Tenggara lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu serta tempat angker lainnya bukan hanya diziarahi sebagai ibadah tapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu) alias kesaktian dan legitimasi politik (wahyu –istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya).
“Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Mekah-lah yang dianggap sebagai pusat kosmis utama. Karena Mekah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam dan tempat wahyu turun kepada Nabi, sehingga Mekah menjadi pusat keilmuan Islam,” tulis Van Bruinessen dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji,” dimuat di Ulumul Qur’an, 1990.
Menurut Sartono, pemimpin-pemimpin pemberontak dan pengikutnya yang disilaukan oleh keyakinan tak dapat dikalahkan –salah satunya karena jimat– dalam Perang Sabil, tak menyadari bahwa organisasi dan strategi militer yang lebih efektif dari Belanda membawa mereka kepada bencana.  
Satu batalyon tentara dari Batavia memukul-mundur dan akhirnya melumpuhkan para pemberontak. Para pemimpinnya, termasuk Haji Wasid, tewas.
Pada akhirnya, tradisi jimat (ngelmu) lestari hingga kini dan menjadi sumber kekuatan jawara-jawara Banten. Baik “jawara putih” yang memperoleh kesaktiaan dari sumber-sumber agama Islam maupun “jawara hitam” dari tradisi pra-Islam, jangjawokan atau elmu Rawayan. “Meskipun demikian, kenyataannya sulit dibedakan secara tegas antara jawara putih dan jawara hitam karena umumnya mereka menggunakan kedua sumber tersebut. Sehingga dijumpai praktik-praktik magis yang diawali dengan pembacaan syahadat atau ayat-ayat Alquran kemudian disambung dengan membaca sejenis jangjawokan,” tulis Agus Fahri Husein dalam Tasbih dan Golok.
(Historia - Hendri F. Isnaeni)

Senin, 18 Agustus 2014

DKI Bentuk Tim Pemburu Aset Warisan Belanda

Rumah cantik menteng di Jl.Teuku Cik Ditiro No. 62, tahun 2001. Dok.TEMPO/ Melly Anne
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah mengatakan pihaknya bakal membentuk tim untuk meneliti rumah dan gedung warisan pemerintah Belanda di seluruh Jakarta. Tim peneliti ini bertugas mendata bangunan-bangunan tersebut agar bisa disertifikasi untuk menjadi milik pemerintah.

"Kami bentuk tim untuk mengecek pemiliknya siapa, apakah sudah dialihkan atau belum," ujar Saefullah di Balai Kota, Senin, 18 Agustus 2014.Ia menambahkan, tim terdiri atas pihak-pihak yang berurusan. Misalnya, Dinas Perumahan, Badan Pengelola Keuangan Daerah, dan Badan Pertanahan Nasional. Tim ini bakal bergerak cepat. Ia memberi waktu satu-dua bulan bagi tim tersebut untuk menyelesaikan tugas.

Kepala Dinas Perumahan Yonathan Pasodung menyebutkan pemilik 1.281 bangunan warisan Belanda yang terdiri atas rumah dan gedung di seluruh DKI Jakarta sudah mengajukan surat izin penghunian (SIP). Jumlah tersebut terbagi menjadi sembilan kategori. Namun, setelah dicek, ternyata total ada 1.313 bangunan warisan pemerintah kolonial di Ibu Kota, bukan 1.281.(Baca : Ahok Bahas 1.200 Rumah di Menteng)

Rincian sembilan kategori tersebut yakni 62 unit milik Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Belanda, 70 gedung negeri milik Kementerian Pekerjaan Umum, 35 unit sudah dimiliki oleh perusahaan negara termasuk bank.

Selanjutnya, 86 unit milik perusahaan swasta dan asuransi, 53 unit dikuasai presidium kabinet, yayasan dan gereja memiliki 23 unit, pemilik perorangan sebanyak 429 unit, kota praja 10 unit, dan yang tidak diketahui dan tidak terdaftar sebanyak 564 unit. "Yang tidak diketahui ini yang akan kami data, siapa pemiliknya. Bisa saja dimiliki oleh kota praja, perorangan, dan lainnya," kata Jonathan.

Menurut Jonathan, dari kesembilan kategori itu, yang pasti bisa disertifikasi yakni 10 unit milik kota praja. Bangunan kota praja adalah bangunan peninggalan pemerintah Belanda, bukan milik perorangan.

Jumat, 15 Agustus 2014

Menculik Soekarno dan Hatta

Hasan Kurniawan
SINDONEWS.COM
SEHARI menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada Jumat 17 Agustus 1945, kini diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, terjadi penculikan terhadap Soekarno-Hatta, dan sejumlah tokoh lainnya, di Jakarta, dan Karawang.
Rumah yang dijadikan tempat penculikan Soekarno dan Hatta (dok:facebook/Hoesein Rushdy)


Peristiwa penculikan tokoh nasionalis dan sosialis demokrat itu, dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok. Para penculiknya terdiri dari beberapa kelompok pemuda pejuang yang masing-masing kelompok mewakili berbagai aliran politik, mulai dari nasionalis, komunis, dan sosialis demokrat. Para pemuda ini dikenal juga Golongan Muda.

Menurut kesaksian perintis kemerdekaan Mr Iwa Kusuma Sumantri, dalam otobiografinya Sang Pejuang Dalam Gejolak Sejarah, penculikan terhadap Soekarno-Hatta, dilakukan Kamis 16 Agustus 1945 pagi.

"Esok harinya, gemparlah Jakarta. Kalangan tentara Jepang marah bukan main. Bung Karno dan Istrinya Fatmawati, serta bayi mereka Osamu Guntur, telah lenyap. Demikian juga Bung Hatta. Sutarjo Karyohadikusumah, Gubernur Jakarta hilang. Dia diculik puteranya sendiri, Setyadi. Sedangkan Bupati Kerawang Pandu Suriadiningrat yang secara kebetulan sedang mengadakan inspeksi di Rengasdengklok, juga ditawan oleh para pemuda," tulis Mr Iwa, di halaman 166.

Penculikan terhadap sejumlah tokoh ini, ada juga yang menyebut peristiwa pengamanan para pemimpin nasionalis dan sosialis demokrat, terhadap rencana besar Golongan Pemuda dalam menyatakan kemerdekaan Indonesia, setelah Jepang kalah perang. 

Penting disebutkan dalam Cerita Pagi ini, beberapa kelompok pemuda pejuang yang terlibat dalam penculikan. Pertama kelompok Tan Malaka dari Partai Republik Indonesia (Pari) yang dipimpin Sukarni, Pandu Kartawiguna, Maruto Nitimiharjo, dan lainnya.

Kelompok pemuda kedua dipimpin Sutan Syahrir, diwakili oleh Johan Syahrasyah, Kusnaini, Ismunanto, dan lainnya. Kelompok ketiga dari Asrama Indonesia Merdeka, dipimpin oleh Chaerul Saleh, Adam Malik, Johan Nur, Darwis, RA Ratulangi, dan lainnya.

Selain ketiga kelompok yang telah disebutkan, kelompok pemuda lain yang juga terlibat dalam peristiwa itu, berasal dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang di antaranya Sudiro (Embah), Wikana, E Chaeruddin, Joyopranoto, dan lainnya.

Selain beberapa nama itu, nama lain yang penting disebutkan dalam peristiwa penculikan Soekarno-Hatta adalah seorang perintis kemerdekaan Mr A Subarjo, dan seorang tentara Jepang yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia, yaitu Laksamana T Maeda. Tanpa peran kedua orang ini, jalannya Republik Indonesia mungkin bisa berlainan dari sekarang.

Subarjo yang dikenal dekat dengan Jepang, seperti juga Soekarno, merupakan orang yang berhasil membujuk para pemuda untuk membebaskan Soekarno-Hatta, dari Rengasdengklok, dan membawanya kembali ke Jakarta, ke rumah Laksamana T Maeda.

Sementara Maeda, mempertaruhkan lehernya, dan mempercayakan Subarjo agar segera membawa kembali Soekarno-Hatta ke Jakarta. Jika keduanya gagal membawa Soekarno-Hatta, bisa dipastikan leher keduanya akan dipenggal Jepang.

"Mr Ahmad Subarjo berhasil membawa Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta. Demikian pula tawanan-tawanan lainnya, dengan dikawal Sukarni yang bersenjatakan pistol. Di depan rumah Hatta, mobil yang membawa Soekarno, dan Nyonya Fatmawati, serta putranya Guntur berhenti. Di sini Nyonya Fatmawati diturunkan. Sedangkan Soekarno-Hatta, dijemput utusan Kaigun, yaitu Forada, dan dibawa ke rumah Vice Admiral T Maida," ungkap Mr Iwa, di halaman 170.

Di rumah Maeda, telah berkumpul banyak tokoh pergerakan kemerdekaan. Di antaranya Mr Iwa Kusuma Sumantri, BM Diah, Sayuti Melik, Tengku Mohammad Hassan, Dr Rajiman Wedyodiningrat, I Gusti Ketut Puja, Dr Supomo, Mr A Abas, Andi Pangeran, Otto Iskandardinata, GSSJ Ratulangi, Andi Sultan Daeng Raja, Dr Syamsi, A Rivai, dan lainnya.

Selain sejumlah tokoh pergerakan kemerdekaan dari Golongan Tua, beberapa orang Jepang, selain Laksamana T Maeda, juga tampak hadir. Mereka menjadi saksi bersejarah, lahirnya bangsa Indonesia yang sangat dramatis.

Setelah istirahat sebentar, Soekarno-Hatta, Mr Ahmad Subarjo, dan Sayuti Melik, langsung merundingkan pembuatan naskah teks proklamasi. Setelah selesai, mereka masuk ke ruang besar yang di dalamnya terdapat anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

"Oleh Bung Karno, saya diberitahu lebih dahulu tentang bunyi naskah daripada teks pernyataan kemerdekaan yang akan diajukan mereka, kepada sidang. Saya mengusulkan agar kata 'maklumat' diganti menjadi 'proklamasi', karena lebih tepat. Usul ini diterima baik oleh mereka," terang Mr Iwa, di halaman selanjutnya.

Jam 4 pagi, Jumat 17 Agustus 1945, naskah teks proklamasi telah selesai dibuat. Berikut bunyinya:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
Kemerdekaan Indonesia
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan
lain-lain diselenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 1945
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta


Naskah teks proklamasi kemudian ditandatangani oleh Soekarno-Hatta. Sebelumnya, sempat ramai dibicarakan oleh mereka yang hadir di rumah Maeda, yakni siapa yang akan menandatangani naskah teks proklamasi itu. Golongan Pemuda ingin beberapa nama dari kalangan mereka disebutkan. Namun akhirnya, hanya dua nama saja yang boleh dicantumkan, yaitu Soekarno-Hatta.
Alasan dipilihnya Soekarno-Hatta dalam penandatanganan itu, karena mereka menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Demikian penandatanganan naskah teks proklamasi dilakukan oleh Soekarno-Hatta atas nama seluruh rakyat Indonesia. Saat itu, jam sudah menunjukkan 04.30 pagi.

Setelah semua yang hadir setuju, diputuskan pembacaan naskah teks proklamasi Jumat 17 Agustus 1945, jam 12.00 siang, di kediaman Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur, Nomor 56, Jakarta. Tentang jam pembacaan teks proklamasi, ada yang menyebut jam 10.00 pagi. Bung Karno dan Bung Hatta kemudian istirahat.

"Upacara dipimpin Dr Muwardi. Sedangkan bendera merah putih dinaikkan dengan khidmat oleh Latief Hendraningrat. Tepat jam 12.00, Bung Karno membacakan teks proklamasi kemerdekaan tersebut, pelan, jelas, dan tegas. Betapa terharu, betapa bangga, serta bahagianya kami pada waktu itu. Saat inilah yang kami perjuangkan, dan saat inilah yang kami tuntut," kenang Mr Iwa, di halaman 175.
Demikian detik-detik jalannya proklamasi kemerdekaan Indonesia berlangsung sangat dramatis. Kini, 69 tahun sudah Indonesia merdeka. Namun perjuangan masih harus dilanjutkan, selama masih ada kemiskinan, selama masih ada penindasan. Selamat Ulang Tahun Indonesia, Merdeka!


(san)

Rabu, 13 Agustus 2014

Haji Darip (2) Tersohor sebab sakti

Reporter : Arbi Sumandoyo
Muhammad Arif alias Haji Darip. (merdeka.com/arbi sumandoyo)
Merdeka.com - Nama Haji Darip tak hanya dikenal di Klender, Jakarta Timur. Sebelum Indonesia merdeka, dia sudah tersohor di seantero Jakarta. Bahkan hingga, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Bukan lantaran dia seorang ulama, Haji darip begitu populer sebab jago silat dan kebal peluru.

Cerita ini seperti dituturkan oleh anak dari pejuang Depok, Daeran atau dikenal Si Pitung dari Depok. Menurut Kong Misan, 76 tahun, ketika zaman penjajahan, dia ikut berjuang bersama ayahnya, daeran, dan Haji Darip. Saat itu para pejuang dan jawara dari sekitar Jakarta bersatu untuk memukul mundur tentara Belanda dan Jepang.

Semua pejuang berjalan kaki menuju Karawang untuk memberanguskan tentara Jepang. Saat pertempuran menghadapi pasukan Jepang di Bekasi, Kong Misan menyaksikan bagaimana Haji Darip menadangi peluru dengan wadah. "Kalau dia memang sakti, peluru saja ditadangin pake ember," kata Kong Misan saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.

Cerita kehebatan Haji Darip juga dibenarkan Iwan Cepi Murtado, putra dari mendiang Murtado alias
Macan Kemayoran. Hubungan Murtado dengan Haji Darip terjalin ketika perang melawan Belanda. Murtado berkongsi dengan Haji Darip menyelundupkan senjata untuk pejuang di Bekasi pimpinan Kiai Haji Nur Ali.

Senjata-senjata itu disembunykan di antara tumpukan beras. "Babe pernah kerja sama dengan Haji Darip Klender untuk menyelundupkan senjata. Haji Darip mengamankan senjata biar lolos," kata Iwan Cepi Murtado saat ditemui di kediamannya, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Namanya juga mentereng di Bekasi. Kepala daerah pertama Bekasi Haji Nausan, jawara Betawi, merupakan salah satu murid Haji Darip. "Dulu ada Klender masih masuk wilayah Bekasi, masih guru papi juga. Haji Darip namanya," ujar anak lelaki Haji Nausan, Muhammad Safii saat ditemui di rumahnya, Kampung Gabus, Bekasi, Jawa Barat.

Adfa begitu banyak cerita soal kesaktian Haji Darip, termasuk saat dipenjara. Dia pernah dijebloskan ke dalam penjara Glodok, Jakarta. Meski begitu dia masih bisa bebas bekerliaran dan menemui keluarganya di Klender.

Para sipir penjara juga kebingungan. Haji Darip kerap salat tahajud di luar penjara dan kembali masuk ke dalam sel sesuadah itu. "Babe bisa menghilang. Pernah waktu dipenjara dia sering keluar, tapi balik lagi nggak kabur," kata Haji Uung. Bekas penjara Glodok itu sekarang menjadi pusat belanja barang-barang elektronik kesohor dengan sebutan Harco Glodok.

Kisah lainnya saat hendak menyerang pasukan jepang di Pangkalan Jati. Seluruh anak buah Haji Darip dimandikan kemudian diisi ilmu kekebalan tubuh. Semua dites tak mempan dengan senjata tajam. "Anak buahnya diperintah untuk menyerbu dan mengusir tentara Jepang di Pangkalan Jati, Pondok Gede, " ujar Haji Uung.
[fas]
 

Panglima perang dari Klender

Reporter : Arbi Sumandoyo
Muhammad Arif alias Haji Darip. (merdeka.com/arbi sumandoyo)
Merdeka.com - Foto lelaki bersorban dan berkaca mata hitam itu terpampang di tembok bercat putih. Di sebelahnya juga ada foto pria itu berjejer dengan 33 tokoh ulama Indonesia.

Mungkin tidak banyak orang mengenal wajah dalam foto itu. Namun bagi warga Klender, Jakarta Timur, nama itu tersohor dengan panggilan Haji Darip. Dia adalah pahlawan Betawi turut memerdekakan negeri ini dari penjajahan.

Nama aslinya Muhammad Arif. Dia dilahirkan di Klender pada 1886. Ayahnya bernama Haji Ku
rdin bin Run dan ibunya bernama Mai. "Ayah saya putra Betawi, dia lahir di Klender," kata Haji Uung, anak Haji Darip, membuka perbincangan dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.

Cerita Haji Darip menjadi pejuang sudah bukan rahasia umum. Dia mulai ikut bertempur melawan penjajah sepulang dari Makkah, Arab Saudi, pada 1916. Dia berjuang bersama Kiai Mursyidi dan Kiai Hasbiyallah lewat musala kecil tak jauh dari kediamannya di Klender. Musala ini kini berubah menjadi masjid megah bernama Al-Makmur.

Haji tidak hanya dikenal sebagai pemuka agama. Dia juga jago silat. Ketokohannya membuat dia disegani oleh masyarakat. Kekuasaannya terbentang dari Klender hingga Bekasi. "Bandit-bandit dulu pada takut sama Babe, Maklum dulu banyak perampok," ujar Haji Uung dengan logat Betawi kental.

Meski ditakuti para bandit, Haji Darip tidak besar kepala. Saat menghadapi pasukan Jepang, dia merangkul bandit-bandit itu untuk ikut berperang. Saat itu dia memimpin laskar bernama Barisan Rakyat (Bara). Isinya tokoh masyarakat, pemuda, dan jawara dari sekitar Klender. "Babe dijuluki panglima perang," tuturnya.

Kehebatan Haji Darip membuat tentara Belanda dan Jepang takut melewati daerah Klender. Kalau nekat, pasukan dipimpin Haji Darip bakal menyikat habis mereka. Meski hanya bermodalkan golok, anak buah Haji Darip tetap percaya diri melawan tentara Jepang.

Ada kisah menarik sebelum Soekarno dan Mohamad Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Dulu beberapa sumur-sumur di sekitar Klender tak bisa diminum airnya lantaran berwarna merah. penyebab berubahnya warna air lantaran banyak mayat tentara Jepang dibuang ke dalam sumur. "Dulu itu Kali Sunter warnanya juga merah karena banyak tentara Jepang dibunuh dan dibuang di situ," kata Haji Uung.

Haji Darip wafat pada 13 Juni 1981. Dia tidak dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Pusaranya bersebelahan dengan istrinya, Hajjah Hamidah di pemakaman wakaf Ar-Rahman, Jalan Tanah Koja II, Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur.
[fas]

Senin, 11 Agustus 2014

Rumah Proklamasi di Rengas Dengklok akan dijual Rp 2 miliar

Rumah penyekapan Soekarno di Rengas Dengklok Karawang. ©2014 Merdeka.com
Merdeka.com - Rumah mendiang Dijaw Kie Siong (anggota Pembela Tanah Air/PETA) di Rengas Dengklok saat ini sangat memprihatinkan. Pendiri kerabat Pencinta Alam, Rudy Badil, mengaku prihatin melihat keadaan rumah tersebut selepas kunjungannya ke sana.

"Kami berkunjung ke rumah tersebut dan kami melihat kondisi rumah tersebut kondisinya tidak terawat selayaknya rumah seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia," kata Rudy di Gedung Djoeang 45, Jakarta Pusat, Senin (11/8).

Rudy mengatakan, rumah bekas penyekapan Soekarno-Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 sekaligus tempat kelahiran naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu akan rencananya akan dijual.

"Kami mendengar informasi bahwa rumah tersebut dan tanahnya seluas sekitar 1.008 meter persegi akan dijual seharga Rp 2 miliar,"
imbuhnya.

Menurut Rudy, rumah itu dijual karena kondisi perekonomian Djiaw Kwien Moy sebagai pemilik rumah sudah terlampau miskin.

"Djiew Kwien Moy yang merupakan cucu perempuan mendiang Djiaw Kie Siong sangat memprihatinkan ekonominya sehingga berniat menjual rumah itu," ujarnya.

Rudy pun agak kecewa jika rumah itu dijual. Sebab nantinya tak ada lagi monumen historis tentang kemerdekaan Indonesia.

"Jika sampe dijual dan digusur dan di atas tanah tersebut didirikan bangunan lainnya, maka tidak ada lagi monumen historical yang sangat penting dan tak ternilai harganya dengan uang," tandasnya.

Oleh karena itu, Rudy bersama kerabat Pencinta Alam yang lain bertekad untuk menyelamatkan keberadaan rumah penyekapan Bung Karno dan Bung Hatta tersebut.

"Kami menyerukan saudara-saudari rakyat Indonesia, dari Merauke di Papua sampai ke Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam untuk bergotong royong menyumbang uang serelanya," tutupnya.

Rumah bersejarah ini dulunya pernah digunakan para pemuda untuk menculik Soekarno-Hatta pada 6 Agustus 1945. Mereka mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera mengumumkan proklamasi agar kemerdekaan bukan dianggap hadiah dari Jepang.
[gib]

Sabtu, 21 Juni 2014

Sepenggal Kisah Dewi Soekarno

Laporan koresponden Tribunnews.com di Tokyo, Richard Susilo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Dewi Soekarno, bernama lengkap Ratna Sari Dewi Soekarno (Naoko Nemoto, 74).  Ia adalah istri kelima Presiden Soekarno yang menikah tahun 1962 ketika Dewi berumur 19 tahun.
Memiliki satu orang putri, Kartika Sari Dewi Soekarno (Karina). Jumat (20/6/2014) kemarin, memaparkan kisah perkawinannya dengan Soekarno di acara "Nakai Masahiro no Kinsuma Special" TBS TV jam 22.00 waktu Tokyo.

Dikisahkan, pada saat terjadi gerekan G30S PKI, Soekarno menyingkir ke Istana Bogor. Saat itu Soekarno sudah dalam keadaan sakit.

"Itulah sebabnya saya ke Indonesia lewat Thailand.  Di Thailand bertemu Dubes Indonesia untuk Thailand, Yusuf, menyatakan tak mungkin saat itu ke Indonesia. Maka saya akhirnya kembali ke Jepang bersama Karina," paparnya.

Setelah beberapa saat di Jepang, Dewi mendapat telepon dari seorang wartawan menyatakan Soekarno dalam keadaan kritis di rumah sakit. Dewi segera menuju Indonesia dengan segala resiko bersama Karina putrinya.

Tiba di Jakarta, sebelum ke luar pesawat, diumumkan agar Dewi tetap duduk di tempat. Setelah semua penumpang ke luar, dua anggota Angkatan Darat (AD) masuk ke pesawat dan menyodorkan surat pernyataan yang katanya "Surat dari Tokyo".

Isi surat menjelaskan, semua resiko keberadaan di Indonesia tanggungjawab Dewi sendiri dan harus mengikuti semua aturan yang diminta pihak militer Indonesia. Dewi menandatangani surat kesepakatan itu lalu ke luar pesawat dan diantar militer ke rumah sakit di mana Soekarno sedang dirawat.

"Saya tegang sekali dan curiga. Suasana sangat gelap, mobil tidak dibawa ke selatan tetapi ke utara Jakarta padahal rumah sakit di selatan. Saat itu saya berpikir harus jaga Karina baik-baik dan kalau ada kesempatan, kalau ada apa-apa saya harus kabur dan kontak teman-teman saya segera," ungkapnya.

Ternyata, mobil yang dipakai tentara itu benar mengantarkan Dewi ke rumah sakit di mana Soekarno dirawat. Sebelum memasuki kamar Soekarno, Karina dititipkan di luar atas permintaan seorang penjaga di sana.

Karina menunggu di luar kamar dan Dewi masuk ke kamar Soekarno. Dewi bercerita, ia langsung kaget melihat keadaan Soekarno sangat parah.

Dengan penuh kasih sayang, Dewi menggenggam erat tangan Soekarno dan mengatakan, "Ini saya Dewi," paparnya.

Soekarno tidak merespons apa pun dalam keadaan kritisnya. Keesokan harinya, 21 Juni 1970 Soekarno meninggal dunia dan Dewi pun pergi ke Paris bersama Karina.

Keadaan yang serba tidak menentu itu membuat Dewi harus mencari kerja supaya dapat hidup. Saat usianya 30 tahun dia bertemu Francisco Paesa, orang Spanyol, dan jatuh cinta dengan pekerja bank tersebut.

Keduanya bertekad membuat bank di Swiss. Dewi menjual semua barangnya saat itu dengan harga sekitar 100 juta yen untuk bisa mendirikan bank bersama pacarnya di Swiss.
Dengan alasan Francisco tak punya hak tinggal di Swiss dan akhirnya mengatakan "Saya tidak punya hak mencintaimu", akhirnya berpisahlah Dewi dengan orang Spanyol tersebut dan uang 100 juta yen amblas.

Setelah itu Dewi berpacaran dengan bangsawan Perancis masih keturunan Louis 14, Sablanco. Setelah tunangan dan pacaran 7 tahun akhirnya juga harus berpisah karena menurut aturan bangsawan itu Dewi harus menyetor sejumlah uang.

Padahal, Dewi  bercerita, saat itu ia tak punya uang, dan  bukan orang bangsawan. Bukan pula seprang Eropa. Akhirnya Dewi kembali ke Indonesia menjadi agen dan konsultan usaha untuk berbagai perusahaan gas, minyak dan sebagainya.

Setelah mendapatkan banyak uang Dewi hijrah ke New York selama 10 tahun. "Kehidupan saya berat. Saya dari orang yang tidak berpunya. Saya harus belajar tiga kali lipat, harus bekerja tiga kali lipat, harus usaha tiga kali lipat, tetapi waktu tidur hanya sepertiga dari orang biasa," paparnya.

Dewi kemudian banyak aktif di kegiatan volunteer, membuat Charity Concert dan semacamnya ke berbagai negara. "Saya sudah setahun tidak bertemu Karina," paparnya

Oleh karena itu bersama pembaca acara TBS TV, Kengo Komada, Dewi menuju Jakarta. Di bandara Soekarno Hatta telah disiapkan tiga mobil dan satu mobil pengawal polisi. Kengo kaget saat itu.

"Dewi, itu apaan ya?" tanyanya yang dijelaskan Dewi bahwa itu pengawal polisi karena di Jakarta macet sekali.

Akhirnya rombongan Dewi sampai di tengah Kota Jakarta hanya dalam waktu singkat karena dikawal polisi, "Enak ya kalau jalan lancar begini," komentar Kengo.

Di Jakarta Dewi memperlihatkan bekas tempat tinggalnya bersama Soekarno yaitu yang kini menjadi Museum Satria Mandala. Di Museum tersebut Dewi dan rombongan disambut banyak perwira dan pengurus museum serta berfoto bersama.

Dewi menjelaskan isi Museum dan lokasi bekas kamar tidurnya bersama Soekarno dulu. Kegiatan lain Dewi bersantap siang di taman pada sebuah Residensial luks di tengah Jakarta. Ikan pepes, lontong dan berbagai makanan Indonesia, "Enak sekali ya Dewi," kata Kengo lagi.

Dewi juga bertemu Karina dan cucunya, lelaki, yang sangat ganteng karena berdarah campuran Indonesia, Jepang, dan Belanda. Hasil perkawinan Karina dengan Frits Frederik Seegers yang berasal dari Belanda pada tanggal 2 Desember 2005.

Lalu dibuatlah gambar (sketsa) oleh Dewi gambar wajah cucunya tersebut menjadi model. Setelah itu acara diakhiri dengan kunjungan Dewi ke sebuah rumah sangat mewah, milik seorang konglomerat Indonesia keturunan China.

Senin, 19 Mei 2014

Sunda Kelapa sudah ramai sejak abad kedua belas. Mulanya, tempat ini bernama Pelabuhan Kalapa. Menjadi pintu terdepan bagi Kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan.

Reporter : Eko

Dream.co.id - Pelabuhan di pesisir utara Jakarta itu tak pernah mati. Selalu ramai oleh kegiatan manusia. Kapal-kapal kayu raksasa pun seolah terus terjaga. Melakukan bongkar muat barang dari lambung dan geladaknya.
Pelabuhan Sunda Kelapa (Bumi Nusantara)
Itulah kesibukan Pelabuhan Sunda Kelapa. Salah satu pelabuhan di Jakarta yang terletak di Penjaringan, Jakarta Utara. Pelabuhan tua ini pula yang menjadi salah satu pintu gerbang penyebaran Islam di Jawa sekaligus menjadi cikal bakal Kota Jakarta.
Sunda Kelapa sudah ramai sejak abad ke dua belas. Mulanya, tempat ini bernama Pelabuhan Kalapa. Menjadi pintu terdepan bagi Kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan —sekarang masuk wilayah Bogor. Kala itu, kapal-kapal dari penjuru nusantara sudah bersandar di sini.
Pelabuhan ini terletak di muara Kali Ciliwung. Laporan Portugis menyebut dulu pelabuhan ini membujur sepanjang satu atau dua kilometer di kedua tepi Kali Ciliwung. Menurut catatan itu, Kali Ciliwung bisa dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing berkapasitas sekitar 100 ton.
Pada tahun 1817, Belanda memperbesar pelabuhan ini menjadi 1.825 meter. Setelah zaman kemerdekaan, kembali direhabilitasi sehingga pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70 perahu layar dengan sistem susun sirih.
Letak Pelabuhan Kalapa memang strategis. Sehingga pelabuhan ini menjadi pusat perniagaan. Kapal-kapal asing dari China, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah, merapat di pelabuhan ini dengan berbagai barang dagangan.
Para pedagang Arab menjadi salah satu kelompok yang singgah dan menetap di pinggir pesisir ini. Selain berdagang, saudagar-saudagar ini menyebarkan Islam di Tanah Betawi. Komunitas Islam dari Arab ini kemudian hari digeser oleh Belanda ke kampung yang diberi nama Pekojan —sekarang masuk wilayah Jakarta Barat.
Peninggalan-peninggalan penyebaran Islam tempo dulu masih bisa terlihat di sekitar daerah itu. Banyak masjid-masjid tua yang dibangun masih berdiri hingga kini. Sebut saja Masjid Al Anshor, Masjid An Nawier, dan Langgar Tinggi.
Saking strategisnya, bandar laut itu menjadi rebutan. Pada 21 Agustus 1522 Raja Sunda membuat perjanjian dengan Portugis untuk membendung serangan Kesultanan Demak dan Cirebon yang memeluk Islam. Portugis diizinkan membangun benteng di pelabuhan itu.
Kesultanan Demak kebakaran jenggot. Perjanjian itu dianggap jadi ancaman. Dikirimlah Fatahillah oleh Demak untuk mengusir Portugis sekaligus merebut Kalapa. Pada 22 Juni 1527, pasukan Demak dan Cirebon merebut Pelabuhan Kalapa. Nama itu diubah menjadi Jayakarta. Tanggal itu juga diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta hingga kini.
Kekuasaan Demak di Jayakarta akhirnya runtuh. Setelah pada 30 Mei 1619, Jayakarta direbut Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen. Diubahlah Jayakarta menjadi Batavia. Sebutan itu diambil dari nama suku Keltik yang pernah tinggal di Belanda.
Pertengahan 1800-an, Pelabuhan Sunda Kelapa tak ramai lagi. Terjadi pendangkalan di pelabuhan itu. Sehingga kapal-kapal tak bisa lagi merapat. Barang-barang yang diangklut kapal besar harus diusung dengan perahu kecil menuju daratan. Sebagai gantinya, dibangunlah Pelabuhan Tanjung Priok yang terletak lima belas kilometer di sebelah timur.
Pada 1942, ketika Jepang berkuasa, nama Batavia diubah menjadi Jakarta. Dua tahun berselang, saat Belanda kembali memerintah, nama itu tak diubah. Baru pada tahun 1970-an, pemerintah mengubah nama pelabuhan itu menjadi Sunda Kelapa.
Kini, Pelabuhan Sunda Kelapa masih difungsikan. Banyak kapal-kapal kayu yang bersandar di sini mengangkut berbagai kebutuhan masyarakat. Mulai sembako, kayu, hingga kain. Selain masih sibuk dengan aktivitas perniagaan, Pelabuhan Sunda Kelapa juga menjadi tujuan wisata bahari yang patut dikunjungi. (Dari berbagai sumber)

Kamis, 08 Mei 2014

Ini cerita Soekarno beri 57 ribu ton emas ke Amerika Serikat

Soekarno-Kennedy. ©blogspot.com
Merdeka.com - Jurnalis senior Safari ANS menghabiskan waktunya selama kurang lebih 10 tahun untuk meneliti misteri harta amanah Bung Karno senilai 57 ribu ton emas. Dimulai dari tugas jurnalis untuk menginvestigasi harta karun Bung Karno , Safari semakin intens mendalami persoalan ini.

"Dimulai pertemuan saya dengan seorang Taiwan yang mempunyai dokumen tersebut (harta amanah) dengan tanda tangan Soekarno dan Chang Kai Sek yang berniat mencairkan emas ribuan ton," terang Safari ANS di Kampus Paramadina, Jakarta, Rabu (7/4).

Dari Eropa dan Amerika Serikat, dia memulai investigasi kebenaran The Green Hilton Memorial Agreement yang ditandatangani oleh Kennedy dan Soekarno pada 14 November 1963.

Tak hanya mencari sumber berita, untuk membuat valid data dia mendirikan LSM perbankan bernama International Fund for Indonesian Development yang berpusat di Hongkong.

"Ini fakta bener, dan enggak diragukan lagi. Kalau penipuan banking sistem semua bisa dicek, banyak dokumen ini (harta amanah). Saya melakukan penelusuran harta Bung Karno dengan cara ini," tegasnya penuh percaya diri.

Bahkan dia mengaku tahu dialog antara Sukarno dan Kennedy pada saat penandatanganan. "Ada dialog kecil antara Soekarno dan Kennedy. Kata Kennedy, oke enggak apa-apa saya akui harta sebesar ini ada tapi jangan dituntut pengembaliannya. Kata Soekarno , you bayar royaltinya saja oke, bayar bunga 2,5 persen setiap tahun," sambung dia.

Selain memberikan emas seberat 57 ribu ton, Soekarno pun mengizinkan Amerika membuka tambang di Indonesia dengan syarat tidak boleh dibawa ke luar Indonesia. Jika perjanjian itu dilanggar maka Amerika akan dikenai jatuh tempo atas hutang 57 ribu ton metrik emas sesuai dalam perjanjian tersebut.
Namun beberapa hari berselang Kennedy tewas ditembak, perjanjian ini pun semakin kacau ditambah nasib tragis Soekarno yang dikudeta. Safari mengindikasikan rentetan peristiwa ini merupakan awal bentuk penghilangan perjanjian oleh Amerika.

Jumat, 25 April 2014

Ini asal usul Pasar Senen

Reporter : Hery H Winarno
Pasar Senen. tropenmuseum.nl
Merdeka.com - Salah satu pasar legendaris di Jakarta, Pasar Senen dilanda kebakaran hebat Jumat (25/4) subuh. Sebanyak dua pertiga kios di Blok 3 terbakar hebat.

Bagaimana asal usul Pasar Senen? Menurut pengamat Kebudayaan Betawi yang juga Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Yahya Andi Saputra, dalam arsip kolonial, pasar di Jakarta pertama kali didirikan oleh seorang tuan tanah berdarah Belanda bernama Justinus Vinck di bagian selatan Castle Batavia pada tahun 1730-an.

Pasar itu bernama Vincke Passer yang saat ini dikenal dengan nama Pasar Senen. Vincke Passer lah yang pertama kali menerapkan sistem jual beli dengan menggunakan uang sebagai alat jual beli yang sah.

Kemudian pada abad ke-19 atau di tahun 1801 pemerintah VOC memberikan kebijakan dalam perizinan membangun pasar kepada tuan tanah. Namun dengan peraturan pasar yang didirikan dibedakan menurut harinya. Vincke Passer buka setiap hari Senin, sehingga orang pribumi sering menyebut Vincke Passer sebagai Pasar Senen dan hingga saat ini nama tersebut masih melekat hingga diabadikan menjadi sebuah nama daerah.

Selain Vincke Passer yang buka hari Senin, ada juga pasar yang buka hari Selasa yakni Pasar Koja, pasar yang buka setiap hari Rabu adalah Pasar Rebo yang kini menjadi Pasar Induk Kramatjati. Kemudian pasar yang buka setiap hari Kamis adalah Mester Passer yang kini disebut Pasar Jatinegara. Selanjutnya ada beberapa pasar yang buka di hari Jumat, sebut saja pasar Lebakbulus, Pasar Klender dan Pasar Cimanggis.

"Untuk Pasar Sabtu, atau pasar yang bukanya setiap hari Sabtu adalah Pasar Tanah Abang. Sedangkan Pasar Minggu atau yang dulu dikenal dengan sebutan Tanjung Oost Passer buka pada hari Minggu," ujar Yahya.

Perbedaan pengoperasian pasar ini dilakukan bukan tanpa alasan. Dengan alasan keamanan serta faktor untuk mempermudah orang dalam berkunjung dan lebih mengenal suatu pasar. Bila ada yang membuka pasar tidak sesuai aturan tersebut.

Sayangnya, kebijakan berlakunya hari kerja pasar tak berlangsung lama. Sebab sejak VOC bangkrut akibat banyak pejabat yang korupsi, pemerintahan Belanda di Batavia diambil alih oleh Kerajaan Hindia-Belanda. Sejak zaman Hindia-Belanda, peraturan hari kerja pasar tidak diberlakukan, hingga sebagian besar pasar buka setiap hari, meski terlanjur menyandang nama hari sebagai nama pasar.

Di zaman Hindia-Belanda pada akhir abad ke-19 inilah kemudian banyak bermunculan pasar-pasar baru yang lebih modern, seperti Passer Baroe, Passer Glodok, Toko Merah. Pasar-pasar yang muncul di era abad ke-19 akhir hingga awal abad ke-20 menjadi inspirasi lahirnya supermarket dan juga mal.

Namun seiring berjalannya waktu, Pasar Selasa kini lebih tenar disebut sebagai Pasar Koja, sedangkan Pasar Sabtu menjadi Pasar Tanah Abang.

Kamis, 20 Maret 2014

Daeran, Si Pitung dari Depok

Kubur Mat Depok. merdeka.com/arbi sumandoyo
 Reporter : Arbi Sumandoyo
Merdeka.com - Tubuhnya kurus dan kulitnya hitam kecoklatan. Jika berpergian, dia kerap mengenakan jas hitam tanpa dalaman. Tato di dadanya bertulisan Amat Depok Potolan. Rajah ini dia bikin ketika mendekam di penjara Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, setelah ditangkap Belanda saat berperang.

Begitu sosok Daeran dikenal hingga saat ini. Lelaki kelahiran Kota Depok pada 1910 ini kesohor dipanggil Mat Depok. Tidak banyak orang mengenal mantan pejuang kemerdekaan itu. Cuma penduduk asli Tanah Baru mengetahui dirinya. "Amat Depok potolan. Potolan itu jawara. Kalau Amat Depok itu orang Depok," kata Misar, 84 tahun, anak dari istri kedua Mat Depok saat berbincang dengan merdeka.com di kediamannya Senin pekan kemarin.

Sebelum ditahan di Nusa Kambangan, Mat Depok sempat menikmati bui di Pulau Onrush lantaran merampok. Misar mencoba mengingat catatan dalam otaknya. Dia bercerita ayahnya memang kebal senjata tajam dan peluru.

Kisahnya begini. Sehabis keluar dari penjara Pulau Onrush, Mat Depok menetap bersama ibunya di Berland, Matraman, Jakarta Timur. Di sana dia bertemu Nyai Emah, simpanan orang Belanda. Mat Depok berhasil memikat Nyai Emah. Dia nekat membawa lari janda cantik itu ke kampungnya di Tanah Baru.

Buntutnya, Mat Depok menjadi buronan orang Belanda. Demi keamanan, Nyai Emah dititipkan kepada gurunya, Kong Misar, di Pengasinan, Sawangan. Gurunya berpesan
agar Mat Depok pulang ke rumah buat menjenguk istri dan anaknya. "Kalau dari Berland dia buron, dia lari ke Pengasinan. Di sana ada guru namanya Pak Misar. Nggak tahu dikasih apa, dibacok, ditembak nggak mempan,"
ujarnya.

Sejak disuruh gurunya pulang, Daeran dibekali ilmu kebal senjata tajam dan peluru. Dari sana, nama anaknya, Djakaria, diganti menjadi Misar lantaran sakit tak kunjung sembuh. "Karena sakit koreng nggak sembuh-sembuh, nama saya diganti menjadi nama gurunya," tutur Misar.

Robert Cribb dalam buku Para Jago dan Kaum Revolusiner Jakarta 1945-1949 menyebut
Muhammad Arif atau dikenal Haji Darif sebagai jago dari Klender, Jakarta Timur, memiliki peran besar dalam revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Nama itu tak asing bagi Misar. Darif berkawan baik dengan Mat Depok dan ikut berperang dalam Barisan Rakyat Indonesia.

Dua orang itu pernah ikut berperang mengusir Belanda sebelum Indonesia merdeka.
"Ayah saya kenal baik dengan beliau," kata Misar.

Senin, 17 Maret 2014

Risma tawar rumah Bung Karno Rp 300 juta, makelar hargai Rp 2 M

Reporter : Moch. Andriansyah
Rumah Bung Karno. ©2014 Merdeka.com/Moch. Andriansyah
Merdeka.com - Gonjang-ganjing penjualan rumah yang diketahui tempat lahir Bung Karno di Jalan Peneleh, Gang Pandean No 40, Surabaya, Jawa Timur sudah direspons Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma). Risma sudah menawar rumah yang ditempati oleh Jamilah senilai Rp 300 juta, namun harga tersebut membengkak hingga Rp 2 miliar.

"Kami sempat pakai tim appraisal dari Istana Gebang di Blitar, tapi harganya terus naik sampai Rp 2 miliar," kata Risma saat mendampingi Ketua Umum DPP PDIP , Megawati Soekarnoputri yang ingin melihat rumah kelahiran Bung Karno , Senin (17/3).

Risma mengaku pihaknya akan terus berusaha melakukan pendekatan intensif agar harga rumah seluas 7x17 meter persegi itu menjadi wajar. "Kita juga ingin secepatnya rumah itu segera diambil alih Pemkot Surabaya dan dijadikan sebagai salah satu cagar budaya milik negara," tandas Risma.

Sementara itu, Samsul Arifin (54), kakak kandung dari Jamila menjelaskan dirinya tak menyebut rumah tersebut dijual tetapi meminta kejelasan agar menghindari makelar 'nakal.'

"Saya tidak mau menyebut itu (dijual), saya mengatakan hanya ingin kejelasan. Arahnya ya ke sana, kalau saya sebut urusannya panjang, banyak 'wereng' yang ingin ikut bermain," kata Samsul.

Sementara itu, seperti yang diceritakan Samsul, sejak tahun 1990, rumah yang dibeli orang tuanya, pasangan almarhum H Abdul Kadir Latif-Siti Hajaliyah itu, saat ini ditempati oleh adiknya Jamila. "Rumah ini dulu dibeli ibu saya dari seseorang dan mulai di tempat alamarhum ibu saya tahun 1990. Karena ayah saya sudah almarhum lebih dulu, jadi ditempati ibu saya," katanya.

Samsul meyakini kamar depan rumah itu sebagai tempat persalinan Ibu Bung Karno , saat melahirkan Sang Putra Fajar, yang kelak menjadi Presiden RI yang pertama. Dan rumah tersebut, saat ini masih utuh seperti aslinya, sebab si pemilik rumah tidak pernah merenovasi rumah tersebut.

Sebelumnya, Samsul dan keluarganya tidak mengetahui kalau rumah yang ditempatinya itu memiliki nilai sejarah. "Sekarang kan yang nempati adik saya (Jamila). Dia ini yang repot menerima orang-orang yang datang lihat-lihat rumah. Setelah itu, ya selesai tidak ada kelanjutannya," beber Samsul.

Sekadar tahu, rumah di Jalan Peneleh, Gg Pandean No 40 yang diyakini sebagai rumah tempat kelahiran san proklamator itu, dulunya berada di Gang Lawang Seketeng yang kemudian diganti Gang Pandean. Saat diketahui sebagai tempat kelahiran Bung Karno , gang itupun dijuluki Kampoeng Bung Karno .

Beberapa foto Bung Karno turut menghiasi kampung tersebut. Baik di pintu masuk gang, di sebelah kiri jalan, tepatnya di depan warung kopi juga tertempel foto Sang Putra Fajar, di balai RT juga terdapat dua foto Bung Karno .
[ded]

Selasa, 11 Februari 2014

'RI bangsa besar, jangan sampai dipermalukan Singapura & PNG'

Reporter : Muhammad Sholeh
KRI Usman Harun. ©naval-technology.com
Merdeka.com - Indonesia dan Singapura belakangan bersitegang terkait penamaan KRI Harun Usman. Singapura protes karena penamaan KRI Usman Harun diambil dari nama dua anggota KKO yang mengebom MacDonald House di Orchard Road, Singapura, pada 1965.

Menanggapi hal itu, mantan KSAD Pramono Edhie Wibowo menegaskan Indonesia wajib menjaga kedaulatan dan kehormatannya di mata dunia dan tetangga. Menurutnya, Indonesia tak perlu menakut-nakuti Singapura untuk menjaga wibawanya.

"Kita wajib menjaga kedaulatan, kewibawaan dan kehormatan bangsa dan negara di mata dunia, khususnya negara tetangga. Untuk dapat melindungi keutuhan wilayah dan keamanan warga negaranya, Indonesia harus tetap berdaulat, berwibawa dan dihormati, tanpa harus menakut-nakuti negara tetangga," kata Edhie dalam keterangannya, Selasa (11/2).

Sementara soal pembakaran kapal nelayan Indonesia oleh tentara laut Papua Nugini (PNG), anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu menyayangkan hal itu. Dia berharap, jangan sampai Indonesia dianggap terlalu kompromi dan permisif atas konflik yang terjadi dengan negara tetangga.

"Indonesia adalah bangsa dan negara yang besar, jangan sampai kita dipermalukan bangsa lain karena kurang tegas menyelesaikan konflik," kata peserta Konvensi Capres Demokrat itu

Selasa, 04 Februari 2014

Penghapusan Nama Tokoh Tionghoa dalam Sejarah

 Didi Kwartanada - detikNews
Seorang pedagang jalanan Tionghoa pada tahun 1854 (litografi berdasarkan lukisan Auguste van Pers) (Wikipedia-Ilustrasi)
Jakarta - Ketika mulai terdesak dalam Perang Dunia II, pemerintah pendudukan Jepang di Jawa sejak 1944 lebih melonggarkan pengawasan politiknya dan memberikan ruang yang lebih luas bagi bangsa Indonesia untuk mengekspresikan aspirasinya terkait pembentukan negara Indonesia merdeka. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso mengumumkan bahwa daerah Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan merdeka kelak di kemudian hari.

Penguasa Jepang di Jawa, Letnan Jenderal Kumakichi Harada, pada 1 Maret 1945 mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Susunan pengurusnya terdiri atas sebuah badan perundingan dan kantor tata usaha. Badan ini terdiri dari seorang Kaicho (Ketua), 2 orang Fuku Kaicho (Ketua Muda), 60 orang Iin (anggota), termasuk empat orang golongan Tionghoa, serta masing-masing 1 orang dari golongan Arab serta peranakan Belanda. Keempat tokoh Tionghoa tersebut adalah: Liem Koen Hian yang pada tahun itu berusia 38 tahun, Oey Tiang Tjoei (52), Oei Tjong Hauw (41), MR Tan Eng Hoa (38), sedangkan wakil dari golongan Arab adalah ARBaswedan, peranakan Belanda PF Dahler.

Tugas BPUPKI adalah merumuskan undang-undang dasar, yang diawali dengan pembahasan mengenai dasar negara yang akan didirikan nanti. Dengan kata lain, BPUPKI memainkan peranan yang sangat penting, karena mempersiapkan dasar-dasar bagi pendirian negara kita ini.

Keterlibatan keempat tokoh Tionghoa di dalam BPUPKI itu termuat di dalam 'Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945 Djilid Pertama' karya Prof. MR Muhammad Yamin (1959, cetak ulang 1971). Di halaman 61 diberikan “Peta tempat doedoek persidangan” BPUPKI. Di sana nampak jelas nomor kursi beserta nama-nama tokohnya: Oey Tiang Tjoei (#13), Oei Tjong Hauw (#15), Liem Koen Hian (#32); dan MR Tan Eng Hoa (#38). Yamin juga menyertakan notulen pidato-pidato dari keempat tokoh tersebut.

Beberapa tahun kemudian Sekretariat Negara secara resmi menerbitkan notulen persidangan BPUPKI dalam Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, dengan tim penyunting yang terdiri dari Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati Sinaga dan Ananda B Kusuma. Karya ini mengalamai revisi isinya, dengan adanya tambahan dan pengurangan: edisi I (1980); edisi II (1992), edisi III (1995) dan terakhir, edisi IV (1998). Di buku ini, Ananda Kusuma menyusun “Biodata anggota BPUPKI”, lengkap dengan foto mereka masing-masing, termasuk pula biodata dan foto keempat anggota Tionghoa (walau tidak lengkap datanya).

Namun ketika membuka buku-buku acuan utama penulisan sejarah nasional Indonesia, kami terkejut karena tidak ada satu pun disebutkan tokoh Tionghoa di dalam BPUPKI! Yang ada adalah empat orang Arab dan satu peranakan (Indo) Belanda. Ketika buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) terbit pertama kali, 1975, di sana masih disebutkan: “empat orang golongan Cina dan golongan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda.” Namun kalimat ini tidak jelas, karena empat orang yang disebutkan di sana mengacu pada Tionghoa dan Arab. Semestinya kalimat berbunyi: “empat orang golongan Cina dan seorang golongan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda.”

Keanehan kami jumpai di dalam SNI edisi ke-4 (1984) ketika kalimat di atas mulai berubah menjadi “empat orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda.” Menariknya, dari edisi pertama (1975) hingga keempat (1984) posisi editor SNI Jilid 6 (Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia) yang bermasalah ini dijabat Brigjen TNI Dr Nugroho Notosusanto. Dia sejarawan yang pernah menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI dan kemudian sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983-wafat di tahun 1985). Dia banyak menimbulkan kontroversi, terkait tuduhan “deSukarnoisasi” dan juga pembuatan film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang merupakan versi resmi Orba atas peristiwa tersebut
 Sepeninggal Nugroho, tugas merevisi SNI dilanjutkan oleh sejarawan Dr Anhar Gonggong dalam wujud SNI 1993. Tapi buku ini tidak mengoreksi, bahkan “melanjutkan” apa yang tertulis dalam edisi sebelumnya. Memasuki masa Reformasi, dalam buku SNI Edisi Pemutakhiran dan buku 'Indonesia dalam Arus Sejarah' pun keempat tokoh Tionghoa tadi masih ‘diasingkan” dari BPUPKI.

Sarjana pertama yang menemukan adanya kesalahan fakta tersebut adalah RM Ananda B Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan dan Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Selain BPUPKI, di masa Orde Baru, catatan sejarah tentang kasus kolaborasi Tionghoa-Jawa melawan VOC (1740-743), yang dikenal sebagai “Geger Pacinan” pun hilang. Padahal di masa Soekarno kisah ini muncul di dalam buku pelajaran.

Kontribusi di BPUPKI

Dua dari keempat tokoh BPUPKI, Liem Koen Hian dan Mr Tan Eng Hoa telah memberikan kontribusinya bagi bangsa dan republik ini. Liem bersuara paling keras agar golongan peranakan Tionghoa di Republik ini secara otomatis dijadikan warga negara seperti disampaikan dalam sidang kedua, 11 Juli 1945. Merujuk disertasi doktor Wikrama Iryans Abidin, Liem juga mengusulkan perlunya jaminan kemerdekaan pers dicantumkan dalam Rancangan UUD BPUPKI, 15 Juli 1945.

Usul itu didukung Mohammad Hatta agar pers punya kekuatan mengawasi penguasa dan warga negara tidak takut menyampaikan kritik pada penguasa. Tapi Soepomo dan kawan kawan menolak dengan alasan gagasan tersebut terkait paham individualisme yang melahirkan liberalisme-kapitalisme-kolonialisme, sedangkan paham yang dianut bangsa Indonesia adalah paham kolektif-kekeluargaan.

Sementara Mr Tan, seperti ditulis Gatra, 29 Agustus 2012, menulis dalam sidang 14 Juli 1945, Soepomo mengatakan bahwa Tan Eng Hoa mengusulkan ayat 3 Pasal 27, yakni: "Hukum yang menetapkan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan sebagainya" dijadikan sebagai pasal tersendiri. Dari usulan Tan Eng Hoa ini, tercipta Pasal 28 UUD 1945 yang kini dikenal sebagai pasal kebebasan berserikat.

Selain itu, dalam buku 'Lahirnya Undang-undang Dasar 1945', yang disusun ABKusuma (2004: 183), sosok Tan disebutkan sebagai anggota BPUPKI yang mendukung ide republik menjadi bentuk negara (Pratisto. 2012: 110-112).

*) Didi Kwartanada menempuh pendidikan di Jurusan Sejarah, Universitas Gadjah Mada dan di Departemen Sejarah, Universitas Nasional Singapura (NUS).

Minggu, 02 Februari 2014

Nakalnya Tan Malaka kecil, dipukul sapu sampai diputar pusarnya

Merdeka.com - Peran Ibrahim Datuk Tan Malaka dalam perjuangan kemerdekaan dan revolusi Indonesia tak dapat disangsikan lagi. Pria yang kenyang keluar masuk penjara di luar negeri dan tanah air ini bahkan menjadi legenda bagi para tokoh pergerakan kemerdekaan atas keberanian dan pemikirannya.

Layaknya manusia lain, Tan Malaka juga memiliki kisah masa kecil. Saat masih kecil, pria kelahiran Suliki, Sumatera Barat, 1894 itu dikenal sebagai anak yang nakal.

Tan Malaka suka berkelahi, terutama ketika ada perkelahian antar-kampung atau yang kini sering disebut tawuran. Di antara teman-temannya, Tan Malaka dianggap sebagai seorang jagoan. Ia memiliki jiwa yang tak kenal takut dan pantang menyerah.

Suatu waktu, Tan Malaka melayani tantangan dari temannya untuk berenang di sebuah sungai. Padahal saat itu, ia masih terlalu lemah untuk melayani tantangan temannya yang usianya sudah senior itu.

Apalagi saat itu arus sungai sangat deras dan bergelombang. Alhasil, Tan Malaka kecil pingsan di tengah sungai. Untungnya, teman-temannya yang usianya lebih tua di atasnya bisa menyelamatkan dan membawanya ke tepian.

Tan Malaka kemudian dibawa teman-temannya pulang dan baru sadar ketika dipukul oleh ibunya yang bernama Rangkayo Sinah dengan sapu lidi. Tak hanya dari ibunya, Tan Malaka juga kerap mendapat hukuman dari gurunya karena kenakalannya.

Dikutip dari 'Tan Malaka; Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, hukuman yang kerap diberikan oleh ibu dan guru kepada Tan Malaka antara lain dipukul dengan sapu lidi, dijemur di pinggir jalan sambil menggigit alat yang biasa digigit kuda agar malu dilihat orang, dimasukkan ke kandang ayam, hingga diputar pusarnya. Hukuman terakhir itu merupakan hukuman yang paling ditakuti oleh Tan Malaka kecil.

Saking seringnya mendapat hukuman, Tan Malaka sampai-sampai heran. Sebab, tak hanya dia yang nakal dan berbuat salah. Keheranan ini bahkan dibawanya hingga dewasa.

"Sampai kini saya masih merasa heran mengapa justru sayalah yang harus menjadi korban hukuman itu?" kata Tan Malaka dalam autobiografinya.

Sejak kecil Tan Malaka memang pemberani, keras kepala, dan teguh pada pendirian. Meski nakal, Tan Malaka kecil juga terkenal sopan, jujur, dan punya prinsip.

Tan Malaka juga terkenal memiliki sifat terus terang, lurus, sedikit pemberang, berkemauan keras, dan seorang yang memiliki solidaritas tinggi. Tak hanya itu, sejak kecil Tan Malaka juga terkenal cerdas sampai-sampai guru-gurunya sangat menyayanginya.

Karenanya tak heran ketika dewasa Tan Malaka menjadi seorang yang revolusioner, berani melawan ketidakadilan penjajah Belanda, dan memiliki idealisme tanpa kompromi. Tan Malaka tak akan mau kompromi jika menyangkut kebenaran dan keadilan.

Soal idealisme tanpa kompromi ini, Tan Malaka mencontohkannya dengan keteguhan sikapnya melawan penjajah Belanda dan Jepang.

"Tuan rumah tidak akan pernah berunding dengan maling yang menjarah rumahnya," demikian Tan Malaka .

***
Tan Malaka wafat ditembak pasukan Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya, pada 21 Februari 1949 di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Meski memiliki jasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan revolusi Indonesia, pahlawan nasional itu nyaris tak dimunculkan dalam sejarah perjalanan bangsa.