Selasa, 11 Februari 2014

'RI bangsa besar, jangan sampai dipermalukan Singapura & PNG'

Reporter : Muhammad Sholeh
KRI Usman Harun. ©naval-technology.com
Merdeka.com - Indonesia dan Singapura belakangan bersitegang terkait penamaan KRI Harun Usman. Singapura protes karena penamaan KRI Usman Harun diambil dari nama dua anggota KKO yang mengebom MacDonald House di Orchard Road, Singapura, pada 1965.

Menanggapi hal itu, mantan KSAD Pramono Edhie Wibowo menegaskan Indonesia wajib menjaga kedaulatan dan kehormatannya di mata dunia dan tetangga. Menurutnya, Indonesia tak perlu menakut-nakuti Singapura untuk menjaga wibawanya.

"Kita wajib menjaga kedaulatan, kewibawaan dan kehormatan bangsa dan negara di mata dunia, khususnya negara tetangga. Untuk dapat melindungi keutuhan wilayah dan keamanan warga negaranya, Indonesia harus tetap berdaulat, berwibawa dan dihormati, tanpa harus menakut-nakuti negara tetangga," kata Edhie dalam keterangannya, Selasa (11/2).

Sementara soal pembakaran kapal nelayan Indonesia oleh tentara laut Papua Nugini (PNG), anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu menyayangkan hal itu. Dia berharap, jangan sampai Indonesia dianggap terlalu kompromi dan permisif atas konflik yang terjadi dengan negara tetangga.

"Indonesia adalah bangsa dan negara yang besar, jangan sampai kita dipermalukan bangsa lain karena kurang tegas menyelesaikan konflik," kata peserta Konvensi Capres Demokrat itu

Selasa, 04 Februari 2014

Penghapusan Nama Tokoh Tionghoa dalam Sejarah

 Didi Kwartanada - detikNews
Seorang pedagang jalanan Tionghoa pada tahun 1854 (litografi berdasarkan lukisan Auguste van Pers) (Wikipedia-Ilustrasi)
Jakarta - Ketika mulai terdesak dalam Perang Dunia II, pemerintah pendudukan Jepang di Jawa sejak 1944 lebih melonggarkan pengawasan politiknya dan memberikan ruang yang lebih luas bagi bangsa Indonesia untuk mengekspresikan aspirasinya terkait pembentukan negara Indonesia merdeka. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso mengumumkan bahwa daerah Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan merdeka kelak di kemudian hari.

Penguasa Jepang di Jawa, Letnan Jenderal Kumakichi Harada, pada 1 Maret 1945 mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Susunan pengurusnya terdiri atas sebuah badan perundingan dan kantor tata usaha. Badan ini terdiri dari seorang Kaicho (Ketua), 2 orang Fuku Kaicho (Ketua Muda), 60 orang Iin (anggota), termasuk empat orang golongan Tionghoa, serta masing-masing 1 orang dari golongan Arab serta peranakan Belanda. Keempat tokoh Tionghoa tersebut adalah: Liem Koen Hian yang pada tahun itu berusia 38 tahun, Oey Tiang Tjoei (52), Oei Tjong Hauw (41), MR Tan Eng Hoa (38), sedangkan wakil dari golongan Arab adalah ARBaswedan, peranakan Belanda PF Dahler.

Tugas BPUPKI adalah merumuskan undang-undang dasar, yang diawali dengan pembahasan mengenai dasar negara yang akan didirikan nanti. Dengan kata lain, BPUPKI memainkan peranan yang sangat penting, karena mempersiapkan dasar-dasar bagi pendirian negara kita ini.

Keterlibatan keempat tokoh Tionghoa di dalam BPUPKI itu termuat di dalam 'Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945 Djilid Pertama' karya Prof. MR Muhammad Yamin (1959, cetak ulang 1971). Di halaman 61 diberikan “Peta tempat doedoek persidangan” BPUPKI. Di sana nampak jelas nomor kursi beserta nama-nama tokohnya: Oey Tiang Tjoei (#13), Oei Tjong Hauw (#15), Liem Koen Hian (#32); dan MR Tan Eng Hoa (#38). Yamin juga menyertakan notulen pidato-pidato dari keempat tokoh tersebut.

Beberapa tahun kemudian Sekretariat Negara secara resmi menerbitkan notulen persidangan BPUPKI dalam Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, dengan tim penyunting yang terdiri dari Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati Sinaga dan Ananda B Kusuma. Karya ini mengalamai revisi isinya, dengan adanya tambahan dan pengurangan: edisi I (1980); edisi II (1992), edisi III (1995) dan terakhir, edisi IV (1998). Di buku ini, Ananda Kusuma menyusun “Biodata anggota BPUPKI”, lengkap dengan foto mereka masing-masing, termasuk pula biodata dan foto keempat anggota Tionghoa (walau tidak lengkap datanya).

Namun ketika membuka buku-buku acuan utama penulisan sejarah nasional Indonesia, kami terkejut karena tidak ada satu pun disebutkan tokoh Tionghoa di dalam BPUPKI! Yang ada adalah empat orang Arab dan satu peranakan (Indo) Belanda. Ketika buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) terbit pertama kali, 1975, di sana masih disebutkan: “empat orang golongan Cina dan golongan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda.” Namun kalimat ini tidak jelas, karena empat orang yang disebutkan di sana mengacu pada Tionghoa dan Arab. Semestinya kalimat berbunyi: “empat orang golongan Cina dan seorang golongan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda.”

Keanehan kami jumpai di dalam SNI edisi ke-4 (1984) ketika kalimat di atas mulai berubah menjadi “empat orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda.” Menariknya, dari edisi pertama (1975) hingga keempat (1984) posisi editor SNI Jilid 6 (Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia) yang bermasalah ini dijabat Brigjen TNI Dr Nugroho Notosusanto. Dia sejarawan yang pernah menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI dan kemudian sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983-wafat di tahun 1985). Dia banyak menimbulkan kontroversi, terkait tuduhan “deSukarnoisasi” dan juga pembuatan film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang merupakan versi resmi Orba atas peristiwa tersebut
 Sepeninggal Nugroho, tugas merevisi SNI dilanjutkan oleh sejarawan Dr Anhar Gonggong dalam wujud SNI 1993. Tapi buku ini tidak mengoreksi, bahkan “melanjutkan” apa yang tertulis dalam edisi sebelumnya. Memasuki masa Reformasi, dalam buku SNI Edisi Pemutakhiran dan buku 'Indonesia dalam Arus Sejarah' pun keempat tokoh Tionghoa tadi masih ‘diasingkan” dari BPUPKI.

Sarjana pertama yang menemukan adanya kesalahan fakta tersebut adalah RM Ananda B Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan dan Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Selain BPUPKI, di masa Orde Baru, catatan sejarah tentang kasus kolaborasi Tionghoa-Jawa melawan VOC (1740-743), yang dikenal sebagai “Geger Pacinan” pun hilang. Padahal di masa Soekarno kisah ini muncul di dalam buku pelajaran.

Kontribusi di BPUPKI

Dua dari keempat tokoh BPUPKI, Liem Koen Hian dan Mr Tan Eng Hoa telah memberikan kontribusinya bagi bangsa dan republik ini. Liem bersuara paling keras agar golongan peranakan Tionghoa di Republik ini secara otomatis dijadikan warga negara seperti disampaikan dalam sidang kedua, 11 Juli 1945. Merujuk disertasi doktor Wikrama Iryans Abidin, Liem juga mengusulkan perlunya jaminan kemerdekaan pers dicantumkan dalam Rancangan UUD BPUPKI, 15 Juli 1945.

Usul itu didukung Mohammad Hatta agar pers punya kekuatan mengawasi penguasa dan warga negara tidak takut menyampaikan kritik pada penguasa. Tapi Soepomo dan kawan kawan menolak dengan alasan gagasan tersebut terkait paham individualisme yang melahirkan liberalisme-kapitalisme-kolonialisme, sedangkan paham yang dianut bangsa Indonesia adalah paham kolektif-kekeluargaan.

Sementara Mr Tan, seperti ditulis Gatra, 29 Agustus 2012, menulis dalam sidang 14 Juli 1945, Soepomo mengatakan bahwa Tan Eng Hoa mengusulkan ayat 3 Pasal 27, yakni: "Hukum yang menetapkan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan sebagainya" dijadikan sebagai pasal tersendiri. Dari usulan Tan Eng Hoa ini, tercipta Pasal 28 UUD 1945 yang kini dikenal sebagai pasal kebebasan berserikat.

Selain itu, dalam buku 'Lahirnya Undang-undang Dasar 1945', yang disusun ABKusuma (2004: 183), sosok Tan disebutkan sebagai anggota BPUPKI yang mendukung ide republik menjadi bentuk negara (Pratisto. 2012: 110-112).

*) Didi Kwartanada menempuh pendidikan di Jurusan Sejarah, Universitas Gadjah Mada dan di Departemen Sejarah, Universitas Nasional Singapura (NUS).

Minggu, 02 Februari 2014

Nakalnya Tan Malaka kecil, dipukul sapu sampai diputar pusarnya

Merdeka.com - Peran Ibrahim Datuk Tan Malaka dalam perjuangan kemerdekaan dan revolusi Indonesia tak dapat disangsikan lagi. Pria yang kenyang keluar masuk penjara di luar negeri dan tanah air ini bahkan menjadi legenda bagi para tokoh pergerakan kemerdekaan atas keberanian dan pemikirannya.

Layaknya manusia lain, Tan Malaka juga memiliki kisah masa kecil. Saat masih kecil, pria kelahiran Suliki, Sumatera Barat, 1894 itu dikenal sebagai anak yang nakal.

Tan Malaka suka berkelahi, terutama ketika ada perkelahian antar-kampung atau yang kini sering disebut tawuran. Di antara teman-temannya, Tan Malaka dianggap sebagai seorang jagoan. Ia memiliki jiwa yang tak kenal takut dan pantang menyerah.

Suatu waktu, Tan Malaka melayani tantangan dari temannya untuk berenang di sebuah sungai. Padahal saat itu, ia masih terlalu lemah untuk melayani tantangan temannya yang usianya sudah senior itu.

Apalagi saat itu arus sungai sangat deras dan bergelombang. Alhasil, Tan Malaka kecil pingsan di tengah sungai. Untungnya, teman-temannya yang usianya lebih tua di atasnya bisa menyelamatkan dan membawanya ke tepian.

Tan Malaka kemudian dibawa teman-temannya pulang dan baru sadar ketika dipukul oleh ibunya yang bernama Rangkayo Sinah dengan sapu lidi. Tak hanya dari ibunya, Tan Malaka juga kerap mendapat hukuman dari gurunya karena kenakalannya.

Dikutip dari 'Tan Malaka; Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, hukuman yang kerap diberikan oleh ibu dan guru kepada Tan Malaka antara lain dipukul dengan sapu lidi, dijemur di pinggir jalan sambil menggigit alat yang biasa digigit kuda agar malu dilihat orang, dimasukkan ke kandang ayam, hingga diputar pusarnya. Hukuman terakhir itu merupakan hukuman yang paling ditakuti oleh Tan Malaka kecil.

Saking seringnya mendapat hukuman, Tan Malaka sampai-sampai heran. Sebab, tak hanya dia yang nakal dan berbuat salah. Keheranan ini bahkan dibawanya hingga dewasa.

"Sampai kini saya masih merasa heran mengapa justru sayalah yang harus menjadi korban hukuman itu?" kata Tan Malaka dalam autobiografinya.

Sejak kecil Tan Malaka memang pemberani, keras kepala, dan teguh pada pendirian. Meski nakal, Tan Malaka kecil juga terkenal sopan, jujur, dan punya prinsip.

Tan Malaka juga terkenal memiliki sifat terus terang, lurus, sedikit pemberang, berkemauan keras, dan seorang yang memiliki solidaritas tinggi. Tak hanya itu, sejak kecil Tan Malaka juga terkenal cerdas sampai-sampai guru-gurunya sangat menyayanginya.

Karenanya tak heran ketika dewasa Tan Malaka menjadi seorang yang revolusioner, berani melawan ketidakadilan penjajah Belanda, dan memiliki idealisme tanpa kompromi. Tan Malaka tak akan mau kompromi jika menyangkut kebenaran dan keadilan.

Soal idealisme tanpa kompromi ini, Tan Malaka mencontohkannya dengan keteguhan sikapnya melawan penjajah Belanda dan Jepang.

"Tuan rumah tidak akan pernah berunding dengan maling yang menjarah rumahnya," demikian Tan Malaka .

***
Tan Malaka wafat ditembak pasukan Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya, pada 21 Februari 1949 di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Meski memiliki jasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan revolusi Indonesia, pahlawan nasional itu nyaris tak dimunculkan dalam sejarah perjalanan bangsa.