Senin, 19 Mei 2014

Sunda Kelapa sudah ramai sejak abad kedua belas. Mulanya, tempat ini bernama Pelabuhan Kalapa. Menjadi pintu terdepan bagi Kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan.

Reporter : Eko

Dream.co.id - Pelabuhan di pesisir utara Jakarta itu tak pernah mati. Selalu ramai oleh kegiatan manusia. Kapal-kapal kayu raksasa pun seolah terus terjaga. Melakukan bongkar muat barang dari lambung dan geladaknya.
Pelabuhan Sunda Kelapa (Bumi Nusantara)
Itulah kesibukan Pelabuhan Sunda Kelapa. Salah satu pelabuhan di Jakarta yang terletak di Penjaringan, Jakarta Utara. Pelabuhan tua ini pula yang menjadi salah satu pintu gerbang penyebaran Islam di Jawa sekaligus menjadi cikal bakal Kota Jakarta.
Sunda Kelapa sudah ramai sejak abad ke dua belas. Mulanya, tempat ini bernama Pelabuhan Kalapa. Menjadi pintu terdepan bagi Kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan —sekarang masuk wilayah Bogor. Kala itu, kapal-kapal dari penjuru nusantara sudah bersandar di sini.
Pelabuhan ini terletak di muara Kali Ciliwung. Laporan Portugis menyebut dulu pelabuhan ini membujur sepanjang satu atau dua kilometer di kedua tepi Kali Ciliwung. Menurut catatan itu, Kali Ciliwung bisa dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing berkapasitas sekitar 100 ton.
Pada tahun 1817, Belanda memperbesar pelabuhan ini menjadi 1.825 meter. Setelah zaman kemerdekaan, kembali direhabilitasi sehingga pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70 perahu layar dengan sistem susun sirih.
Letak Pelabuhan Kalapa memang strategis. Sehingga pelabuhan ini menjadi pusat perniagaan. Kapal-kapal asing dari China, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah, merapat di pelabuhan ini dengan berbagai barang dagangan.
Para pedagang Arab menjadi salah satu kelompok yang singgah dan menetap di pinggir pesisir ini. Selain berdagang, saudagar-saudagar ini menyebarkan Islam di Tanah Betawi. Komunitas Islam dari Arab ini kemudian hari digeser oleh Belanda ke kampung yang diberi nama Pekojan —sekarang masuk wilayah Jakarta Barat.
Peninggalan-peninggalan penyebaran Islam tempo dulu masih bisa terlihat di sekitar daerah itu. Banyak masjid-masjid tua yang dibangun masih berdiri hingga kini. Sebut saja Masjid Al Anshor, Masjid An Nawier, dan Langgar Tinggi.
Saking strategisnya, bandar laut itu menjadi rebutan. Pada 21 Agustus 1522 Raja Sunda membuat perjanjian dengan Portugis untuk membendung serangan Kesultanan Demak dan Cirebon yang memeluk Islam. Portugis diizinkan membangun benteng di pelabuhan itu.
Kesultanan Demak kebakaran jenggot. Perjanjian itu dianggap jadi ancaman. Dikirimlah Fatahillah oleh Demak untuk mengusir Portugis sekaligus merebut Kalapa. Pada 22 Juni 1527, pasukan Demak dan Cirebon merebut Pelabuhan Kalapa. Nama itu diubah menjadi Jayakarta. Tanggal itu juga diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta hingga kini.
Kekuasaan Demak di Jayakarta akhirnya runtuh. Setelah pada 30 Mei 1619, Jayakarta direbut Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen. Diubahlah Jayakarta menjadi Batavia. Sebutan itu diambil dari nama suku Keltik yang pernah tinggal di Belanda.
Pertengahan 1800-an, Pelabuhan Sunda Kelapa tak ramai lagi. Terjadi pendangkalan di pelabuhan itu. Sehingga kapal-kapal tak bisa lagi merapat. Barang-barang yang diangklut kapal besar harus diusung dengan perahu kecil menuju daratan. Sebagai gantinya, dibangunlah Pelabuhan Tanjung Priok yang terletak lima belas kilometer di sebelah timur.
Pada 1942, ketika Jepang berkuasa, nama Batavia diubah menjadi Jakarta. Dua tahun berselang, saat Belanda kembali memerintah, nama itu tak diubah. Baru pada tahun 1970-an, pemerintah mengubah nama pelabuhan itu menjadi Sunda Kelapa.
Kini, Pelabuhan Sunda Kelapa masih difungsikan. Banyak kapal-kapal kayu yang bersandar di sini mengangkut berbagai kebutuhan masyarakat. Mulai sembako, kayu, hingga kain. Selain masih sibuk dengan aktivitas perniagaan, Pelabuhan Sunda Kelapa juga menjadi tujuan wisata bahari yang patut dikunjungi. (Dari berbagai sumber)

Kamis, 08 Mei 2014

Ini cerita Soekarno beri 57 ribu ton emas ke Amerika Serikat

Soekarno-Kennedy. ©blogspot.com
Merdeka.com - Jurnalis senior Safari ANS menghabiskan waktunya selama kurang lebih 10 tahun untuk meneliti misteri harta amanah Bung Karno senilai 57 ribu ton emas. Dimulai dari tugas jurnalis untuk menginvestigasi harta karun Bung Karno , Safari semakin intens mendalami persoalan ini.

"Dimulai pertemuan saya dengan seorang Taiwan yang mempunyai dokumen tersebut (harta amanah) dengan tanda tangan Soekarno dan Chang Kai Sek yang berniat mencairkan emas ribuan ton," terang Safari ANS di Kampus Paramadina, Jakarta, Rabu (7/4).

Dari Eropa dan Amerika Serikat, dia memulai investigasi kebenaran The Green Hilton Memorial Agreement yang ditandatangani oleh Kennedy dan Soekarno pada 14 November 1963.

Tak hanya mencari sumber berita, untuk membuat valid data dia mendirikan LSM perbankan bernama International Fund for Indonesian Development yang berpusat di Hongkong.

"Ini fakta bener, dan enggak diragukan lagi. Kalau penipuan banking sistem semua bisa dicek, banyak dokumen ini (harta amanah). Saya melakukan penelusuran harta Bung Karno dengan cara ini," tegasnya penuh percaya diri.

Bahkan dia mengaku tahu dialog antara Sukarno dan Kennedy pada saat penandatanganan. "Ada dialog kecil antara Soekarno dan Kennedy. Kata Kennedy, oke enggak apa-apa saya akui harta sebesar ini ada tapi jangan dituntut pengembaliannya. Kata Soekarno , you bayar royaltinya saja oke, bayar bunga 2,5 persen setiap tahun," sambung dia.

Selain memberikan emas seberat 57 ribu ton, Soekarno pun mengizinkan Amerika membuka tambang di Indonesia dengan syarat tidak boleh dibawa ke luar Indonesia. Jika perjanjian itu dilanggar maka Amerika akan dikenai jatuh tempo atas hutang 57 ribu ton metrik emas sesuai dalam perjanjian tersebut.
Namun beberapa hari berselang Kennedy tewas ditembak, perjanjian ini pun semakin kacau ditambah nasib tragis Soekarno yang dikudeta. Safari mengindikasikan rentetan peristiwa ini merupakan awal bentuk penghilangan perjanjian oleh Amerika.