Kamis, 28 Agustus 2014

Jimat Penguat

HISTORIA.CO.ID - Para pemberontak Banten yakin dengan jimat dapat memenangi perang.
PADA 29 September 1887, para pemberontak berkumpul di rumah pimpinan mereka, Haji Wasid, untuk membahas pengumpulkan senjata. Namun para kiai berpendapat sebaiknya tak usah mencari senjata api. Alasannya, mayoritas pemberontak belum bisa menggunakannya. Untuk mendatangkannya dari luar Banten juga sulit. Mereka bisa mengandalkan kelewang dan yakin akan memenangi perang suci melawan Belanda dan antek-anteknya. 
http://www.historia.co.id/
Selama tiga bulan terakhir tahun 1887 hingga pertengahan tahun 1888, para pemberontak mempersiapkan diri dengan kegiatan pencak silat, pengumpulan dan pembuatan senjata, dan propaganda ke luar Banten. “Kegiatan lain terus dilakukan, seperti membakar semangat dengan khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil dan mendorong mereka untuk memakai jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Dalam lampiran laporan Kontrolir Serang tanggal 19 Mei 1889 No 16, Snouck Hurgronje menerjemahkan jimat Arab yang digunakan para pemberontak Banten itu. Menurutnya, sebagaimana dikutip E. Gobée dan C. Adriaansee dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, jimat itu bertuliskan: “Inilah penyelamat yang diberkahi. Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ya Allah, ya Yang Hidup, ya Yang Berdiri Sendiri, Engkaulah kujadikan kekuatanku. Maka lindungilah aku dengan perlindungan selengkap-lengkapnya penjagaan...”
Di dalam jimat juga terdapat gambaran berkekuatan mistik, berupa sebuah lingkaran yang dikelilingi nama empat malaikat tertinggi dan nama-nama Allah; Muhammad; (empat khalifah) Abu Bakar, Umar, Usman, Ali; (putra-putra Ali) Hasan, Husain; (dua sahabat Nabi Muhammad) Sa’ad dan Sa’id; sementara di tengahnya terdapat surat Thaha ayat 39. Ada pula gambar pedang Ali bermata dua. Termaktub di situ: “Tidak ada orang [pahlawan] selain Ali, dan tidak ada pedang selain Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar).”
Menurut Seyyed Hossein Nasr, ungkapan “tidak ada orang (pahlawan) selain ‘Alî, dan tidak ada pedang selain Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar)” atau “la fata illa ali, la saifa illa dzu al-fiqar, (dzu al-fiqar adalah pedang bermata dua terkenal milik Ali)”, secara tradisional dinisbahkan kepada Malaikat Jibril, yang dia sampaikan kepada Nabi.
“Pribadi Ali yang bijak sekaligus ksatria, perenung sekaligus pelindung, sepanjang abad senantiasa mendominasi seluruh horizon futuwwah atau Keksatriaan Spiritual,” tulis Hossein Nasr, “Kekesatriaan Spiritual”, termuat dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Tentu saja, futuwwah yang diinginkan para pemberontakan Banten dari jimat itu adalah “keksatriaan fisik”.
Hurgronje juga menulis, “Selebihnya... jimat ini hanya memuat doa-doa pengampunan dosa dan rahmatan ‘ind al-maut (rahmat dalam kematian).”
Naskah tersebut, lanjut Hurgronje, pasti dibuat dengan pertimbangan gerakan di Banten dan dapat dipakai sebagai jimat untuk Perang Sabil.
Jimat itu, tulis Martin van Bruinessen, diperoleh dari Mekah karena Mekah dianggap sebagai pusat kosmis utama dan sumber ngelmu atau kesaktian. Dalam kosmologi Jawa, seperti halnya kosmologi Asia Tenggara lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu serta tempat angker lainnya bukan hanya diziarahi sebagai ibadah tapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu) alias kesaktian dan legitimasi politik (wahyu –istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya).
“Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Mekah-lah yang dianggap sebagai pusat kosmis utama. Karena Mekah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam dan tempat wahyu turun kepada Nabi, sehingga Mekah menjadi pusat keilmuan Islam,” tulis Van Bruinessen dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji,” dimuat di Ulumul Qur’an, 1990.
Menurut Sartono, pemimpin-pemimpin pemberontak dan pengikutnya yang disilaukan oleh keyakinan tak dapat dikalahkan –salah satunya karena jimat– dalam Perang Sabil, tak menyadari bahwa organisasi dan strategi militer yang lebih efektif dari Belanda membawa mereka kepada bencana.  
Satu batalyon tentara dari Batavia memukul-mundur dan akhirnya melumpuhkan para pemberontak. Para pemimpinnya, termasuk Haji Wasid, tewas.
Pada akhirnya, tradisi jimat (ngelmu) lestari hingga kini dan menjadi sumber kekuatan jawara-jawara Banten. Baik “jawara putih” yang memperoleh kesaktiaan dari sumber-sumber agama Islam maupun “jawara hitam” dari tradisi pra-Islam, jangjawokan atau elmu Rawayan. “Meskipun demikian, kenyataannya sulit dibedakan secara tegas antara jawara putih dan jawara hitam karena umumnya mereka menggunakan kedua sumber tersebut. Sehingga dijumpai praktik-praktik magis yang diawali dengan pembacaan syahadat atau ayat-ayat Alquran kemudian disambung dengan membaca sejenis jangjawokan,” tulis Agus Fahri Husein dalam Tasbih dan Golok.
(Historia - Hendri F. Isnaeni)

Senin, 18 Agustus 2014

DKI Bentuk Tim Pemburu Aset Warisan Belanda

Rumah cantik menteng di Jl.Teuku Cik Ditiro No. 62, tahun 2001. Dok.TEMPO/ Melly Anne
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah mengatakan pihaknya bakal membentuk tim untuk meneliti rumah dan gedung warisan pemerintah Belanda di seluruh Jakarta. Tim peneliti ini bertugas mendata bangunan-bangunan tersebut agar bisa disertifikasi untuk menjadi milik pemerintah.

"Kami bentuk tim untuk mengecek pemiliknya siapa, apakah sudah dialihkan atau belum," ujar Saefullah di Balai Kota, Senin, 18 Agustus 2014.Ia menambahkan, tim terdiri atas pihak-pihak yang berurusan. Misalnya, Dinas Perumahan, Badan Pengelola Keuangan Daerah, dan Badan Pertanahan Nasional. Tim ini bakal bergerak cepat. Ia memberi waktu satu-dua bulan bagi tim tersebut untuk menyelesaikan tugas.

Kepala Dinas Perumahan Yonathan Pasodung menyebutkan pemilik 1.281 bangunan warisan Belanda yang terdiri atas rumah dan gedung di seluruh DKI Jakarta sudah mengajukan surat izin penghunian (SIP). Jumlah tersebut terbagi menjadi sembilan kategori. Namun, setelah dicek, ternyata total ada 1.313 bangunan warisan pemerintah kolonial di Ibu Kota, bukan 1.281.(Baca : Ahok Bahas 1.200 Rumah di Menteng)

Rincian sembilan kategori tersebut yakni 62 unit milik Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Belanda, 70 gedung negeri milik Kementerian Pekerjaan Umum, 35 unit sudah dimiliki oleh perusahaan negara termasuk bank.

Selanjutnya, 86 unit milik perusahaan swasta dan asuransi, 53 unit dikuasai presidium kabinet, yayasan dan gereja memiliki 23 unit, pemilik perorangan sebanyak 429 unit, kota praja 10 unit, dan yang tidak diketahui dan tidak terdaftar sebanyak 564 unit. "Yang tidak diketahui ini yang akan kami data, siapa pemiliknya. Bisa saja dimiliki oleh kota praja, perorangan, dan lainnya," kata Jonathan.

Menurut Jonathan, dari kesembilan kategori itu, yang pasti bisa disertifikasi yakni 10 unit milik kota praja. Bangunan kota praja adalah bangunan peninggalan pemerintah Belanda, bukan milik perorangan.

Jumat, 15 Agustus 2014

Menculik Soekarno dan Hatta

Hasan Kurniawan
SINDONEWS.COM
SEHARI menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada Jumat 17 Agustus 1945, kini diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, terjadi penculikan terhadap Soekarno-Hatta, dan sejumlah tokoh lainnya, di Jakarta, dan Karawang.
Rumah yang dijadikan tempat penculikan Soekarno dan Hatta (dok:facebook/Hoesein Rushdy)


Peristiwa penculikan tokoh nasionalis dan sosialis demokrat itu, dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok. Para penculiknya terdiri dari beberapa kelompok pemuda pejuang yang masing-masing kelompok mewakili berbagai aliran politik, mulai dari nasionalis, komunis, dan sosialis demokrat. Para pemuda ini dikenal juga Golongan Muda.

Menurut kesaksian perintis kemerdekaan Mr Iwa Kusuma Sumantri, dalam otobiografinya Sang Pejuang Dalam Gejolak Sejarah, penculikan terhadap Soekarno-Hatta, dilakukan Kamis 16 Agustus 1945 pagi.

"Esok harinya, gemparlah Jakarta. Kalangan tentara Jepang marah bukan main. Bung Karno dan Istrinya Fatmawati, serta bayi mereka Osamu Guntur, telah lenyap. Demikian juga Bung Hatta. Sutarjo Karyohadikusumah, Gubernur Jakarta hilang. Dia diculik puteranya sendiri, Setyadi. Sedangkan Bupati Kerawang Pandu Suriadiningrat yang secara kebetulan sedang mengadakan inspeksi di Rengasdengklok, juga ditawan oleh para pemuda," tulis Mr Iwa, di halaman 166.

Penculikan terhadap sejumlah tokoh ini, ada juga yang menyebut peristiwa pengamanan para pemimpin nasionalis dan sosialis demokrat, terhadap rencana besar Golongan Pemuda dalam menyatakan kemerdekaan Indonesia, setelah Jepang kalah perang. 

Penting disebutkan dalam Cerita Pagi ini, beberapa kelompok pemuda pejuang yang terlibat dalam penculikan. Pertama kelompok Tan Malaka dari Partai Republik Indonesia (Pari) yang dipimpin Sukarni, Pandu Kartawiguna, Maruto Nitimiharjo, dan lainnya.

Kelompok pemuda kedua dipimpin Sutan Syahrir, diwakili oleh Johan Syahrasyah, Kusnaini, Ismunanto, dan lainnya. Kelompok ketiga dari Asrama Indonesia Merdeka, dipimpin oleh Chaerul Saleh, Adam Malik, Johan Nur, Darwis, RA Ratulangi, dan lainnya.

Selain ketiga kelompok yang telah disebutkan, kelompok pemuda lain yang juga terlibat dalam peristiwa itu, berasal dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang di antaranya Sudiro (Embah), Wikana, E Chaeruddin, Joyopranoto, dan lainnya.

Selain beberapa nama itu, nama lain yang penting disebutkan dalam peristiwa penculikan Soekarno-Hatta adalah seorang perintis kemerdekaan Mr A Subarjo, dan seorang tentara Jepang yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia, yaitu Laksamana T Maeda. Tanpa peran kedua orang ini, jalannya Republik Indonesia mungkin bisa berlainan dari sekarang.

Subarjo yang dikenal dekat dengan Jepang, seperti juga Soekarno, merupakan orang yang berhasil membujuk para pemuda untuk membebaskan Soekarno-Hatta, dari Rengasdengklok, dan membawanya kembali ke Jakarta, ke rumah Laksamana T Maeda.

Sementara Maeda, mempertaruhkan lehernya, dan mempercayakan Subarjo agar segera membawa kembali Soekarno-Hatta ke Jakarta. Jika keduanya gagal membawa Soekarno-Hatta, bisa dipastikan leher keduanya akan dipenggal Jepang.

"Mr Ahmad Subarjo berhasil membawa Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta. Demikian pula tawanan-tawanan lainnya, dengan dikawal Sukarni yang bersenjatakan pistol. Di depan rumah Hatta, mobil yang membawa Soekarno, dan Nyonya Fatmawati, serta putranya Guntur berhenti. Di sini Nyonya Fatmawati diturunkan. Sedangkan Soekarno-Hatta, dijemput utusan Kaigun, yaitu Forada, dan dibawa ke rumah Vice Admiral T Maida," ungkap Mr Iwa, di halaman 170.

Di rumah Maeda, telah berkumpul banyak tokoh pergerakan kemerdekaan. Di antaranya Mr Iwa Kusuma Sumantri, BM Diah, Sayuti Melik, Tengku Mohammad Hassan, Dr Rajiman Wedyodiningrat, I Gusti Ketut Puja, Dr Supomo, Mr A Abas, Andi Pangeran, Otto Iskandardinata, GSSJ Ratulangi, Andi Sultan Daeng Raja, Dr Syamsi, A Rivai, dan lainnya.

Selain sejumlah tokoh pergerakan kemerdekaan dari Golongan Tua, beberapa orang Jepang, selain Laksamana T Maeda, juga tampak hadir. Mereka menjadi saksi bersejarah, lahirnya bangsa Indonesia yang sangat dramatis.

Setelah istirahat sebentar, Soekarno-Hatta, Mr Ahmad Subarjo, dan Sayuti Melik, langsung merundingkan pembuatan naskah teks proklamasi. Setelah selesai, mereka masuk ke ruang besar yang di dalamnya terdapat anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

"Oleh Bung Karno, saya diberitahu lebih dahulu tentang bunyi naskah daripada teks pernyataan kemerdekaan yang akan diajukan mereka, kepada sidang. Saya mengusulkan agar kata 'maklumat' diganti menjadi 'proklamasi', karena lebih tepat. Usul ini diterima baik oleh mereka," terang Mr Iwa, di halaman selanjutnya.

Jam 4 pagi, Jumat 17 Agustus 1945, naskah teks proklamasi telah selesai dibuat. Berikut bunyinya:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
Kemerdekaan Indonesia
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan
lain-lain diselenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 1945
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta


Naskah teks proklamasi kemudian ditandatangani oleh Soekarno-Hatta. Sebelumnya, sempat ramai dibicarakan oleh mereka yang hadir di rumah Maeda, yakni siapa yang akan menandatangani naskah teks proklamasi itu. Golongan Pemuda ingin beberapa nama dari kalangan mereka disebutkan. Namun akhirnya, hanya dua nama saja yang boleh dicantumkan, yaitu Soekarno-Hatta.
Alasan dipilihnya Soekarno-Hatta dalam penandatanganan itu, karena mereka menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Demikian penandatanganan naskah teks proklamasi dilakukan oleh Soekarno-Hatta atas nama seluruh rakyat Indonesia. Saat itu, jam sudah menunjukkan 04.30 pagi.

Setelah semua yang hadir setuju, diputuskan pembacaan naskah teks proklamasi Jumat 17 Agustus 1945, jam 12.00 siang, di kediaman Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur, Nomor 56, Jakarta. Tentang jam pembacaan teks proklamasi, ada yang menyebut jam 10.00 pagi. Bung Karno dan Bung Hatta kemudian istirahat.

"Upacara dipimpin Dr Muwardi. Sedangkan bendera merah putih dinaikkan dengan khidmat oleh Latief Hendraningrat. Tepat jam 12.00, Bung Karno membacakan teks proklamasi kemerdekaan tersebut, pelan, jelas, dan tegas. Betapa terharu, betapa bangga, serta bahagianya kami pada waktu itu. Saat inilah yang kami perjuangkan, dan saat inilah yang kami tuntut," kenang Mr Iwa, di halaman 175.
Demikian detik-detik jalannya proklamasi kemerdekaan Indonesia berlangsung sangat dramatis. Kini, 69 tahun sudah Indonesia merdeka. Namun perjuangan masih harus dilanjutkan, selama masih ada kemiskinan, selama masih ada penindasan. Selamat Ulang Tahun Indonesia, Merdeka!


(san)

Rabu, 13 Agustus 2014

Haji Darip (2) Tersohor sebab sakti

Reporter : Arbi Sumandoyo
Muhammad Arif alias Haji Darip. (merdeka.com/arbi sumandoyo)
Merdeka.com - Nama Haji Darip tak hanya dikenal di Klender, Jakarta Timur. Sebelum Indonesia merdeka, dia sudah tersohor di seantero Jakarta. Bahkan hingga, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Bukan lantaran dia seorang ulama, Haji darip begitu populer sebab jago silat dan kebal peluru.

Cerita ini seperti dituturkan oleh anak dari pejuang Depok, Daeran atau dikenal Si Pitung dari Depok. Menurut Kong Misan, 76 tahun, ketika zaman penjajahan, dia ikut berjuang bersama ayahnya, daeran, dan Haji Darip. Saat itu para pejuang dan jawara dari sekitar Jakarta bersatu untuk memukul mundur tentara Belanda dan Jepang.

Semua pejuang berjalan kaki menuju Karawang untuk memberanguskan tentara Jepang. Saat pertempuran menghadapi pasukan Jepang di Bekasi, Kong Misan menyaksikan bagaimana Haji Darip menadangi peluru dengan wadah. "Kalau dia memang sakti, peluru saja ditadangin pake ember," kata Kong Misan saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.

Cerita kehebatan Haji Darip juga dibenarkan Iwan Cepi Murtado, putra dari mendiang Murtado alias
Macan Kemayoran. Hubungan Murtado dengan Haji Darip terjalin ketika perang melawan Belanda. Murtado berkongsi dengan Haji Darip menyelundupkan senjata untuk pejuang di Bekasi pimpinan Kiai Haji Nur Ali.

Senjata-senjata itu disembunykan di antara tumpukan beras. "Babe pernah kerja sama dengan Haji Darip Klender untuk menyelundupkan senjata. Haji Darip mengamankan senjata biar lolos," kata Iwan Cepi Murtado saat ditemui di kediamannya, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Namanya juga mentereng di Bekasi. Kepala daerah pertama Bekasi Haji Nausan, jawara Betawi, merupakan salah satu murid Haji Darip. "Dulu ada Klender masih masuk wilayah Bekasi, masih guru papi juga. Haji Darip namanya," ujar anak lelaki Haji Nausan, Muhammad Safii saat ditemui di rumahnya, Kampung Gabus, Bekasi, Jawa Barat.

Adfa begitu banyak cerita soal kesaktian Haji Darip, termasuk saat dipenjara. Dia pernah dijebloskan ke dalam penjara Glodok, Jakarta. Meski begitu dia masih bisa bebas bekerliaran dan menemui keluarganya di Klender.

Para sipir penjara juga kebingungan. Haji Darip kerap salat tahajud di luar penjara dan kembali masuk ke dalam sel sesuadah itu. "Babe bisa menghilang. Pernah waktu dipenjara dia sering keluar, tapi balik lagi nggak kabur," kata Haji Uung. Bekas penjara Glodok itu sekarang menjadi pusat belanja barang-barang elektronik kesohor dengan sebutan Harco Glodok.

Kisah lainnya saat hendak menyerang pasukan jepang di Pangkalan Jati. Seluruh anak buah Haji Darip dimandikan kemudian diisi ilmu kekebalan tubuh. Semua dites tak mempan dengan senjata tajam. "Anak buahnya diperintah untuk menyerbu dan mengusir tentara Jepang di Pangkalan Jati, Pondok Gede, " ujar Haji Uung.
[fas]
 

Panglima perang dari Klender

Reporter : Arbi Sumandoyo
Muhammad Arif alias Haji Darip. (merdeka.com/arbi sumandoyo)
Merdeka.com - Foto lelaki bersorban dan berkaca mata hitam itu terpampang di tembok bercat putih. Di sebelahnya juga ada foto pria itu berjejer dengan 33 tokoh ulama Indonesia.

Mungkin tidak banyak orang mengenal wajah dalam foto itu. Namun bagi warga Klender, Jakarta Timur, nama itu tersohor dengan panggilan Haji Darip. Dia adalah pahlawan Betawi turut memerdekakan negeri ini dari penjajahan.

Nama aslinya Muhammad Arif. Dia dilahirkan di Klender pada 1886. Ayahnya bernama Haji Ku
rdin bin Run dan ibunya bernama Mai. "Ayah saya putra Betawi, dia lahir di Klender," kata Haji Uung, anak Haji Darip, membuka perbincangan dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.

Cerita Haji Darip menjadi pejuang sudah bukan rahasia umum. Dia mulai ikut bertempur melawan penjajah sepulang dari Makkah, Arab Saudi, pada 1916. Dia berjuang bersama Kiai Mursyidi dan Kiai Hasbiyallah lewat musala kecil tak jauh dari kediamannya di Klender. Musala ini kini berubah menjadi masjid megah bernama Al-Makmur.

Haji tidak hanya dikenal sebagai pemuka agama. Dia juga jago silat. Ketokohannya membuat dia disegani oleh masyarakat. Kekuasaannya terbentang dari Klender hingga Bekasi. "Bandit-bandit dulu pada takut sama Babe, Maklum dulu banyak perampok," ujar Haji Uung dengan logat Betawi kental.

Meski ditakuti para bandit, Haji Darip tidak besar kepala. Saat menghadapi pasukan Jepang, dia merangkul bandit-bandit itu untuk ikut berperang. Saat itu dia memimpin laskar bernama Barisan Rakyat (Bara). Isinya tokoh masyarakat, pemuda, dan jawara dari sekitar Klender. "Babe dijuluki panglima perang," tuturnya.

Kehebatan Haji Darip membuat tentara Belanda dan Jepang takut melewati daerah Klender. Kalau nekat, pasukan dipimpin Haji Darip bakal menyikat habis mereka. Meski hanya bermodalkan golok, anak buah Haji Darip tetap percaya diri melawan tentara Jepang.

Ada kisah menarik sebelum Soekarno dan Mohamad Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Dulu beberapa sumur-sumur di sekitar Klender tak bisa diminum airnya lantaran berwarna merah. penyebab berubahnya warna air lantaran banyak mayat tentara Jepang dibuang ke dalam sumur. "Dulu itu Kali Sunter warnanya juga merah karena banyak tentara Jepang dibunuh dan dibuang di situ," kata Haji Uung.

Haji Darip wafat pada 13 Juni 1981. Dia tidak dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Pusaranya bersebelahan dengan istrinya, Hajjah Hamidah di pemakaman wakaf Ar-Rahman, Jalan Tanah Koja II, Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur.
[fas]

Senin, 11 Agustus 2014

Rumah Proklamasi di Rengas Dengklok akan dijual Rp 2 miliar

Rumah penyekapan Soekarno di Rengas Dengklok Karawang. ©2014 Merdeka.com
Merdeka.com - Rumah mendiang Dijaw Kie Siong (anggota Pembela Tanah Air/PETA) di Rengas Dengklok saat ini sangat memprihatinkan. Pendiri kerabat Pencinta Alam, Rudy Badil, mengaku prihatin melihat keadaan rumah tersebut selepas kunjungannya ke sana.

"Kami berkunjung ke rumah tersebut dan kami melihat kondisi rumah tersebut kondisinya tidak terawat selayaknya rumah seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia," kata Rudy di Gedung Djoeang 45, Jakarta Pusat, Senin (11/8).

Rudy mengatakan, rumah bekas penyekapan Soekarno-Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 sekaligus tempat kelahiran naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu akan rencananya akan dijual.

"Kami mendengar informasi bahwa rumah tersebut dan tanahnya seluas sekitar 1.008 meter persegi akan dijual seharga Rp 2 miliar,"
imbuhnya.

Menurut Rudy, rumah itu dijual karena kondisi perekonomian Djiaw Kwien Moy sebagai pemilik rumah sudah terlampau miskin.

"Djiew Kwien Moy yang merupakan cucu perempuan mendiang Djiaw Kie Siong sangat memprihatinkan ekonominya sehingga berniat menjual rumah itu," ujarnya.

Rudy pun agak kecewa jika rumah itu dijual. Sebab nantinya tak ada lagi monumen historis tentang kemerdekaan Indonesia.

"Jika sampe dijual dan digusur dan di atas tanah tersebut didirikan bangunan lainnya, maka tidak ada lagi monumen historical yang sangat penting dan tak ternilai harganya dengan uang," tandasnya.

Oleh karena itu, Rudy bersama kerabat Pencinta Alam yang lain bertekad untuk menyelamatkan keberadaan rumah penyekapan Bung Karno dan Bung Hatta tersebut.

"Kami menyerukan saudara-saudari rakyat Indonesia, dari Merauke di Papua sampai ke Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam untuk bergotong royong menyumbang uang serelanya," tutupnya.

Rumah bersejarah ini dulunya pernah digunakan para pemuda untuk menculik Soekarno-Hatta pada 6 Agustus 1945. Mereka mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera mengumumkan proklamasi agar kemerdekaan bukan dianggap hadiah dari Jepang.
[gib]