Minggu, 06 September 2015

Daan Mogot Bukan Sekadar Nama Jalan, Inilah Pertempuran Terakhirnya

DAAN Mogot berumur 17 tahun ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pemuda kelahiran Manado, 28 Desember 1928 itu mati muda. Gugur saat hendak melucuti senjata tentara Jepang di desa Lengkong, Serpong, Tangerang.  
Mayor Daan Mogot. Foto: Istimewa.

Hari itu almanak bertarekh 25 Januari 1946. Ba’da Sholat Jumat, Mayor Daan Mogot memimpin para taruna Akademi Militer Tangerang (AMT) berangkat dengan tiga truk dan satu jip militer dari markas Resimen IV TRI menuju markas Jepang di desa Lengkong. 
Dalam rombongan itu ada empat orang eks Gurka--tentara bayaran Inggris--dari India yang membelot ke republik. Ke-empatnya didandani bak pasukan Sekutu. Mengenakan uniform ala tentara Inggris. Maksudnya mau tipu-tipu, seolah itu operasi gabungan TKR-Sekutu sebagai pemenang perang dunia kedua yang akan melucuti Jepang.
Aksi ini sudah direncanakan baik-baik oleh Daan Mogot, selaku pendiri sekaligus Direktur Akademi Militer Tangerang bersama Kapten Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. “Keberangkatan siang itu diliputi suasana optimis,” tulis Moehkardi dalam buku Pendidikan Perwira TNI AD di Masa Revolusi
Sesampai di tujuan, Daan Mogot berunding dengan Kapten Abe, pimpinan tentara Jepang di Lengkong. Mereka sudah saling kenal sebelumnya, mengingat semasa pendudukan Jepang, pemilik nama asli Elias Daniel Mogot ini pernah menjadi pelatih PETA di Bali dan Jakarta. 
Perundingan berlangsung baik. Daan didampingi Alex Sajoeti, taruna AMT yang mahir berbahasa Jepang. Di luar ruang runding, Soebianto dan Soetopo sudah mengerahkan para taruna AMT masuk barak. Sekira 40 serdadu Jepang dijejer di lapangan. Senjata mereka dikumpulkan. Para “saudara tua” itu termakan muslihat. 
“Mereka percaya bahwa yang sedang bertugas adalah operasi gabungan TKR-Sekutu,” tulis Rosihan Anwar, Ramadhan KH, Ray Rizal, Din Madjid dalam buku Kemal Idris--Bertarung dalam Revolusi

Tiba-tiba sore yang tenang itu berubah gaduh. Terdengar rentetan senapan. Entah dari mana arahnya. Ini terjadi di luar rencana. Serdadu Jepang yang sudah terlatih sontak merebut senjata. Terjadi baku tembak hingga “perkelahian sangkur satu lawan satu,” kenang Moehkardi.
Pasukan republik tak mampu mengalahkan saudara tua. Daan Mogot, dua perwira yang mendampinginya--Soebianto dan Soetopo--serta 33 orang taruna AMT gugur. Tiga puluhan orang lainnya ditawan. Para tawanan dipaksa menggali dan mengubur para kawannya.    
Empat hari kemudian, 29 Januari 1946 diadakan pemakaman ulang. “Saya spesial datang ke situ sebagai wartawan harian Merdeka,” kenang Rosihan Anwar.  
Hari itu, sebagaimana ditulis Rosihan, banyak pejabat hadir. Ada Haji Agus Salim, yang anaknya Sjewket Salim—taruna AMT turut gugur. Hadir juga Margono Djojohadikusumo pendiri BNI yang kehilangan dua putranya; Kapten Subianto dan taruna Soejono.
Saat prosesi pemakaman ulang, dari kantong baju jasad Soebianto--paman dari Prabowo Soebianto yang tempo hari nyapres--ditemukan selarik puisi karya Henriette Roland Holst, penyair perempuan komunis Belanda sahabat Bung Hatta. 

wij zijn de bouwers van de temple niet/wij zijn enkel de sjouwers van de stenen/wij zijn het geslacht dat moest vergaan/opdat een betere oprijze uit onze graven
Rosihan menerjemahkan, “kami bukan pembangun candi/kami hanya pengangkut batu/kamilah angkatan yang mesti musnah/agar menjelma angkatan baru/di atas kuburan kami telah sempurna.”
Kini, sajak itu terukir di pintu gerbang Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang. Dan untuk mengenang keberanian sang pemimpin pertempuran tersebut, nama Daan Mogot diabadikan pada sebuah jalan raya di Jakarta Barat. (wow/jpnn)