DAAN Mogot berumur 17
tahun ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Pemuda kelahiran Manado, 28 Desember 1928 itu mati muda.
Gugur saat hendak melucuti senjata tentara Jepang di desa Lengkong,
Serpong, Tangerang.
Mayor Daan Mogot. Foto: Istimewa. |
Hari itu almanak bertarekh 25 Januari
1946. Ba’da Sholat Jumat, Mayor Daan Mogot memimpin para taruna Akademi
Militer Tangerang (AMT) berangkat dengan tiga truk dan satu jip militer
dari markas Resimen IV TRI menuju markas Jepang di desa Lengkong.
Dalam rombongan itu ada empat orang eks
Gurka--tentara bayaran Inggris--dari India yang membelot ke republik.
Ke-empatnya didandani bak pasukan Sekutu. Mengenakan uniform ala tentara
Inggris. Maksudnya mau tipu-tipu, seolah itu operasi gabungan
TKR-Sekutu sebagai pemenang perang dunia kedua yang akan melucuti
Jepang.
Aksi ini sudah direncanakan baik-baik oleh
Daan Mogot, selaku pendiri sekaligus Direktur Akademi Militer Tangerang
bersama Kapten Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo.
“Keberangkatan siang itu diliputi suasana optimis,” tulis Moehkardi
dalam buku Pendidikan Perwira TNI AD di Masa Revolusi.
Sesampai di tujuan, Daan Mogot berunding
dengan Kapten Abe, pimpinan tentara Jepang di Lengkong. Mereka sudah
saling kenal sebelumnya, mengingat semasa pendudukan Jepang, pemilik
nama asli Elias Daniel Mogot ini pernah menjadi pelatih PETA di Bali dan
Jakarta.
Perundingan berlangsung baik. Daan
didampingi Alex Sajoeti, taruna AMT yang mahir berbahasa Jepang. Di luar
ruang runding, Soebianto dan Soetopo sudah mengerahkan para taruna AMT
masuk barak. Sekira 40 serdadu Jepang dijejer di lapangan. Senjata
mereka dikumpulkan. Para “saudara tua” itu termakan muslihat.
“Mereka percaya bahwa yang sedang bertugas
adalah operasi gabungan TKR-Sekutu,” tulis Rosihan Anwar, Ramadhan KH,
Ray Rizal, Din Madjid dalam buku Kemal Idris--Bertarung dalam Revolusi
Tiba-tiba sore yang tenang itu berubah
gaduh. Terdengar rentetan senapan. Entah dari mana arahnya. Ini
terjadi di luar rencana. Serdadu Jepang yang sudah terlatih sontak
merebut senjata. Terjadi baku tembak hingga “perkelahian sangkur satu
lawan satu,” kenang Moehkardi.
Pasukan republik tak mampu mengalahkan
saudara tua. Daan Mogot, dua perwira yang mendampinginya--Soebianto dan
Soetopo--serta 33 orang taruna AMT gugur. Tiga puluhan orang lainnya
ditawan. Para tawanan dipaksa menggali dan mengubur para kawannya.
Empat hari kemudian, 29 Januari 1946 diadakan pemakaman ulang. “Saya spesial datang ke situ sebagai wartawan harian Merdeka,” kenang Rosihan Anwar.
Hari itu, sebagaimana ditulis Rosihan,
banyak pejabat hadir. Ada Haji Agus Salim, yang anaknya
Sjewket Salim—taruna AMT turut gugur. Hadir juga Margono Djojohadikusumo
pendiri BNI yang kehilangan dua putranya; Kapten Subianto dan taruna
Soejono.
Saat prosesi pemakaman ulang, dari kantong
baju jasad Soebianto--paman dari Prabowo Soebianto yang tempo hari
nyapres--ditemukan selarik puisi karya Henriette Roland Holst, penyair
perempuan komunis Belanda sahabat Bung Hatta.
wij zijn de bouwers van de temple
niet/wij zijn enkel de sjouwers van de stenen/wij zijn het geslacht
dat moest vergaan/opdat een betere oprijze uit onze graven
Rosihan menerjemahkan, “kami bukan
pembangun candi/kami hanya pengangkut batu/kamilah angkatan yang mesti
musnah/agar menjelma angkatan baru/di atas kuburan kami telah sempurna.”
Kini, sajak itu terukir di pintu gerbang
Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang. Dan untuk mengenang keberanian
sang pemimpin pertempuran tersebut, nama Daan Mogot diabadikan pada
sebuah jalan raya di Jakarta Barat. (wow/jpnn)