Dhani Irawan - detikNews
Jakarta - Soekarno pernah berpidato menyinggung tugu
berbentuk obelisk yang disebut sebagai tugu Linggarjati. Dalam pidato di
sidang pleno Depernas (Bapenas sekarang-red) di Bandung pada 13 Agustus
1960, dia menyebut tugu obelisk itu sebagai tugu Linggarjati, bukan
tugu proklamasi.
Dalam pidato yang dikutip dari dokumen Bapenas, Sabtu (13/9/2014) Soekarno meminta tugu itu dibongkar saat 17 Agustus 1960.
"17
Agustus ini, akan saja perintahkan membongkar tugu Linggardjati itu,
agar supaja nanti djikalau kita mentjangkul, ajunan tjangkul kita jang
pertama, itu berarti bahwa kita di Pegangsaan Timur 56 itu akan
mendirikan kita punja tugu proklamasi, persis ditempat dimana dulu
proklamasi dibatjakan," tegas Soekarno.
Tak hanya itu saja,
Soekarno dahulu juga sempat meminta pembongkaran rumah di Pegangsaan
Timur itu. Tugu Proklamasi dahulu merupakan kediaman Soekarno, tempat
pembacaan Proklamasi.
"Dan keinginan saja pribadi, sebagai
arsitek, ialah supaja gedung jang dinamakan gedung proklamasi itu
diratakan dengan muka bumi. Sebaliknja di situ untuk tugu sadja jang
mendjulang kelangit 17 meter tinggi, terbuat daripada perunggu,
sekelilingnja satu taman jang indah, dimana kita punja anak-anak kita
bersenang-senang setiap hari," tutur Soekarno.
Tugu berbentuk
obelisk itu masih berdiri kokoh di tempatnya. Di tugu setinggi dua
sampai tiga meter dengan puncak berbentuk prisma itu tertempel
keterangan, 'Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia Atas Oesaha
Kaoem Wanita Djakarta'. Sementara di sisi sebaliknya ada pula 2 buah
ukiran plakat.
Plakat pertama yaitu salinan teks proklamasi yang
dibacakan Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 saat menyatakan
kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, plakat lainnya berada di bawah
plakat itu yang berupa gambar peta wilayah Indonesia yang berupa
kepulauan.
Tak jelas informasi mengapa tugu itu dinamai Soekarno
tugu Linggarjati. Mungkin saja ada kaitan dengan perundingan antara
Indonesia dan Belanda di Linggarjati di kawasan Kuningan dan Cirebon,
Jawa Barat.
Sabtu, 13 September 2014
Soekarno Pernah Perintahkan Penghancuran Tugu Obelisk atau Tugu Linggarjati
Kamis, 04 September 2014
Rahmat Ono, Samurai Jepang murka lihat koruptor di Indonesia
Rahmat Ono, Samurai Jepang murka lihat koruptor di Indonesia |
"Bodoh! Tidak malu! Harusnya korupsi itu malu dan bunuh diri," teriak Rahmat Ono.
Kisah tersebut diceritakan Agoes Soetikno (56), putra Rahmat Shigeru Ono saat menerima merdeka.com di Malang, Jawa Timur pekan lalu.
Rahmat Shigeru Ono adalah mantan tentara Jepang. Dia kemudian lari dari kesatuannya dan ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Rahmat melatih para pemuda Indonesia soal kemiliteran dan intelijen. Dia juga sering memimpin serangan terhadap tentara Belanda semasa perang kemerdekaan.
"Papi selalu marah lihat berita soal korupsi. Dia merasa perjuangannya dan kawan-kawannya dulu mempertahankan kemerdekaan dikhianati. Banyak teman-teman Papi yang gugur semasa perang kemerdekaan. Dia merasa sedih melihat setelah merdeka malah pada korupsi," lanjut Agus.
Agoes pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Banjarbaru di Kalimantan Selatan. Dia ingat, setiap ada berita korupsi DPRD atau anggota DPRD yang ditangkap KPK, ayahnya langsung telepon.
"Awas kamu kalau korupsi. Papi selalu bilang jangan korupsi," kenang Agoes.
Erlik Ono (47), putri Rahmat Shigeru Ono juga menceritakan pengalaman serupa. Kebetulan Erlik bekerja di Dirjen Pajak. Saat ramai kasus mafia pajak Gayus Tambunan, Erlik pun dicereweti sang ayah.
"Kamu nggak takut kerja di Pajak? tanya Papi. Saya bilang saya nggak korupsi kayak Gayus, buat apa takut," kenang Erlik sambil tertawa.
Erlik ingat peringatan ayahnya bukan hanya sekali dua kali memperingatkan mereka supaya jujur. Kalau soal ini, Rahmat Ono terkenal keras. Pesan supaya tak korupsi terus disebut Rahmat Ono hingga meninggal dalam usia 95 tahun, Senin (25/8) lalu.
"Papi pernah kerja di perusahaan Jepang di Jakarta. Jika dia mau, dia bisa saja memanfaatkan jabatan tapi dia tetap tidak mau," kata Agoes menambahkan.
Rahmat Ono lahir pada 26 September 1918 di Prefektur Hokkaido. Meninggal di tempat yang sangat jauh dari tanah kelahirannya. Dia selalu merasa Indonesia adalah tanah airnya. Sang samurai bangga pernah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, walau harus kehilangan tangan. Dia tinggal dan meninggal di Indonesia.
Maka tak malukah pejabat yang bisa merdeka karena perjuangan Rahmat Ono dan kawan-kawannya kini malah bergelimang hasil korupsi?
Langganan:
Postingan (Atom)