Dream .co.id - Pelabuhan
di pesisir utara Jakarta itu tak pernah mati. Selalu ramai oleh
kegiatan manusia. Kapal-kapal kayu raksasa pun seolah terus terjaga.
Melakukan bongkar muat barang dari lambung dan geladaknya.
Itulah kesibukan Pelabuhan Sunda Kelapa. Salah satu pelabuhan di
Jakarta yang terletak di Penjaringan, Jakarta Utara. Pelabuhan tua ini
pula yang menjadi salah satu pintu gerbang penyebaran Islam di Jawa
sekaligus menjadi cikal bakal Kota Jakarta.
Sunda Kelapa sudah ramai sejak abad ke dua belas. Mulanya, tempat ini
bernama Pelabuhan Kalapa. Menjadi pintu terdepan bagi Kerajaan
Pajajaran yang beribukota di Pakuan —sekarang masuk wilayah Bogor. Kala
itu, kapal-kapal dari penjuru nusantara sudah bersandar di sini.
Pelabuhan ini terletak di muara Kali Ciliwung. Laporan Portugis
menyebut dulu pelabuhan ini membujur sepanjang satu atau dua kilometer
di kedua tepi Kali Ciliwung. Menurut catatan itu, Kali Ciliwung bisa
dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing berkapasitas sekitar 100
ton.
Pada tahun 1817, Belanda memperbesar pelabuhan ini menjadi 1.825
meter. Setelah zaman kemerdekaan, kembali direhabilitasi sehingga
pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung
70 perahu layar dengan sistem susun sirih.
Letak Pelabuhan Kalapa memang strategis. Sehingga pelabuhan ini
menjadi pusat perniagaan. Kapal-kapal asing dari China, Jepang, India
Selatan, dan Timur Tengah, merapat di pelabuhan ini dengan berbagai
barang dagangan.
Para pedagang Arab menjadi salah satu kelompok yang singgah dan
menetap di pinggir pesisir ini. Selain berdagang, saudagar-saudagar ini
menyebarkan Islam di Tanah Betawi. Komunitas Islam dari Arab ini
kemudian hari digeser oleh Belanda ke kampung yang diberi nama Pekojan
—sekarang masuk wilayah Jakarta Barat.
Peninggalan-peninggalan penyebaran Islam tempo dulu masih bisa
terlihat di sekitar daerah itu. Banyak masjid-masjid tua yang dibangun
masih berdiri hingga kini. Sebut saja Masjid Al Anshor, Masjid An
Nawier, dan Langgar Tinggi.
Saking strategisnya, bandar laut itu menjadi rebutan. Pada 21 Agustus
1522 Raja Sunda membuat perjanjian dengan Portugis untuk membendung
serangan Kesultanan Demak dan Cirebon yang memeluk Islam. Portugis
diizinkan membangun benteng di pelabuhan itu.
Kesultanan Demak kebakaran jenggot. Perjanjian itu dianggap jadi
ancaman. Dikirimlah Fatahillah oleh Demak untuk mengusir Portugis
sekaligus merebut Kalapa. Pada 22 Juni 1527, pasukan Demak dan Cirebon
merebut Pelabuhan Kalapa. Nama itu diubah menjadi Jayakarta. Tanggal itu
juga diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta hingga kini.
Kekuasaan Demak di Jayakarta akhirnya runtuh. Setelah pada 30 Mei
1619, Jayakarta direbut Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen.
Diubahlah Jayakarta menjadi Batavia. Sebutan itu diambil dari nama suku
Keltik yang pernah tinggal di Belanda.
Pertengahan 1800-an, Pelabuhan Sunda Kelapa tak ramai lagi. Terjadi
pendangkalan di pelabuhan itu. Sehingga kapal-kapal tak bisa lagi
merapat. Barang-barang yang diangklut kapal besar harus diusung dengan
perahu kecil menuju daratan. Sebagai gantinya, dibangunlah Pelabuhan
Tanjung Priok yang terletak lima belas kilometer di sebelah timur.
Pada 1942, ketika Jepang berkuasa, nama Batavia diubah menjadi
Jakarta. Dua tahun berselang, saat Belanda kembali memerintah, nama itu
tak diubah. Baru pada tahun 1970-an, pemerintah mengubah nama pelabuhan
itu menjadi Sunda Kelapa.
Kini, Pelabuhan Sunda Kelapa masih difungsikan. Banyak kapal-kapal
kayu yang bersandar di sini mengangkut berbagai kebutuhan masyarakat.
Mulai sembako, kayu, hingga kain. Selain masih sibuk dengan aktivitas
perniagaan, Pelabuhan Sunda Kelapa juga menjadi tujuan wisata bahari
yang patut dikunjungi. (Dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar