Jenderal Spoor/dok hetdepot.com |
Ketika kembali ke Batavia, Jenderal Spoor mendapati negeri bekas koloni tersebut telah berubah total: revolusi berkobar di mana-mana. Meskipun demikian, Jenderal Spoor sedikit pun tak merasa khawatir.
Dalam pandangan Panglima termuda dalam sejarah militer modern Belanda itu, para pejuang kemerdekaan itu tak lebih dari "rampokkers (perampok)” dan "roversbenden (gerombolan penyamun)”, yang menindas warganya sendiri.
"Jika mereka dapat dilumpuhkan, rakyat Indonesia dengan sendirinya akan kembali memilih Belanda," demikian Spoor, sebagaimana dipublikasikan NRC Handelsblad (23/11/2013) baru-baru ini.
Spoor meyakini bahwa TNI (mula-mula TKR pada 5 Oktober 1945, kemudian menjadi TNI pada 3 Juni 1947), tidak memiliki kapasitas untuk sungguh-sungguh melancarkan perang gerilya. Namun kata-kata Spoor tersebut terbukti sebaliknya. Pada 1948 situasi militer terutama di Jawa Barat semakin memburuk.
Pasukan Belanda terdesak dan banyak jatuh korban. Lagipula pasukan organik TNI ternyata bukan satu-satunya yang harus dihadapi oleh pasukan Belanda, melainkan juga gangguan perlawanan dari Darul Islam pimpinan Sekarmadji Kartosoewirjo dan milisi Bambu Runcing yang pro komunis.
Jenderal Spoor sudah memerintahkan Panglima Daerah Militer Jawa Barat Mayor Jenderal (Mayjen) Henri Durst Britt untuk melakukan penumpasan, namun operasi militer ini tak memberi jalan keluar. Prajurit-prajurit Durst Britt gagal menumpas perlawanan. Ratusan kepala desa dan ambtenaar (pejabat) pro Belanda diculik dan dibunuh
Spoor naik pitam atas tindakan Mayjen Henri Durst Britt yang dinilainya kurang tegas dan memutuskan untuk turun tangan sendiri dengan merancang adu domba antara DI/TII dan Bambu Runcing di satu pihak melawan pasukan republik (TNI) di pihak lain.
Tanpa sepengetahuan staf jenderalnya, Spoor secara diam-diam membentuk mereka menjadi "organisasi pertahanan rahasia".
Spoor meyakinkan milisi-milisi di Jawa Barat itu agar menghentikan perlawanan lebih lanjut terhadap otoritas Belanda. Mereka harus menghentikan serangan-serangan dan selanjutnya dikerahkan untuk menggempur pasukan TNI.
Sebagai imbalannya, pasukan Belanda akan membiarkan mereka dan tidak akan menyerang mereka. Di samping itu mereka dipasok dengan senjata dan uang.
Untuk melatih pasukan "organisasi pertahanan rahasia" ini, ditunjuklah Kapten Raymond Westerling, yang saat itu baru kembali dari operasi pembantaian di Sulawesi Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar