Didi Kwartanada - detikNews
|
Seorang pedagang jalanan Tionghoa pada tahun 1854 (litografi berdasarkan lukisan Auguste van Pers) (Wikipedia-Ilustrasi) | | |
|
Jakarta - Ketika mulai terdesak dalam Perang Dunia II,
pemerintah pendudukan Jepang di Jawa sejak 1944 lebih melonggarkan
pengawasan politiknya dan memberikan ruang yang lebih luas bagi bangsa
Indonesia untuk mengekspresikan aspirasinya terkait pembentukan negara
Indonesia merdeka. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki
Koiso mengumumkan bahwa daerah Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan
merdeka kelak di kemudian hari.
Penguasa Jepang di Jawa, Letnan
Jenderal Kumakichi Harada, pada 1 Maret 1945 mengumumkan pembentukan
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Susunan pengurusnya terdiri atas sebuah badan perundingan dan kantor
tata usaha. Badan ini terdiri dari seorang Kaicho (Ketua), 2 orang Fuku
Kaicho (Ketua Muda), 60 orang Iin (anggota), termasuk empat orang
golongan Tionghoa, serta masing-masing 1 orang dari golongan Arab serta
peranakan Belanda. Keempat tokoh Tionghoa tersebut adalah: Liem Koen
Hian yang pada tahun itu berusia 38 tahun, Oey Tiang Tjoei (52), Oei
Tjong Hauw (41), MR Tan Eng Hoa (38), sedangkan wakil dari golongan Arab
adalah ARBaswedan, peranakan Belanda PF Dahler.
Tugas BPUPKI
adalah merumuskan undang-undang dasar, yang diawali dengan pembahasan
mengenai dasar negara yang akan didirikan nanti. Dengan kata lain,
BPUPKI memainkan peranan yang sangat penting, karena mempersiapkan
dasar-dasar bagi pendirian negara kita ini.
Keterlibatan keempat
tokoh Tionghoa di dalam BPUPKI itu termuat di dalam 'Naskah Persiapan
Undang-undang Dasar 1945 Djilid Pertama' karya Prof. MR Muhammad Yamin
(1959, cetak ulang 1971). Di halaman 61 diberikan “Peta tempat doedoek
persidangan” BPUPKI. Di sana nampak jelas nomor kursi beserta nama-nama
tokohnya: Oey Tiang Tjoei (#13), Oei Tjong Hauw (#15), Liem Koen Hian
(#32); dan MR Tan Eng Hoa (#38). Yamin juga menyertakan notulen
pidato-pidato dari keempat tokoh tersebut.
Beberapa tahun
kemudian Sekretariat Negara secara resmi menerbitkan notulen persidangan
BPUPKI dalam Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, dengan tim penyunting yang terdiri
dari Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati Sinaga dan Ananda B Kusuma. Karya
ini mengalamai revisi isinya, dengan adanya tambahan dan pengurangan:
edisi I (1980); edisi II (1992), edisi III (1995) dan terakhir, edisi IV
(1998). Di buku ini, Ananda Kusuma menyusun “Biodata anggota BPUPKI”,
lengkap dengan foto mereka masing-masing, termasuk pula biodata dan foto
keempat anggota Tionghoa (walau tidak lengkap datanya).
Namun
ketika membuka buku-buku acuan utama penulisan sejarah nasional
Indonesia, kami terkejut karena tidak ada satu pun disebutkan tokoh
Tionghoa di dalam BPUPKI! Yang ada adalah empat orang Arab dan satu
peranakan (Indo) Belanda. Ketika buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI)
terbit pertama kali, 1975, di sana masih disebutkan: “empat orang
golongan Cina dan golongan Arab serta seorang golongan peranakan
Belanda.” Namun kalimat ini tidak jelas, karena empat orang yang
disebutkan di sana mengacu pada Tionghoa dan Arab. Semestinya kalimat
berbunyi: “empat orang golongan Cina dan seorang golongan Arab serta
seorang golongan peranakan Belanda.”
Keanehan kami jumpai di
dalam SNI edisi ke-4 (1984) ketika kalimat di atas mulai berubah menjadi
“empat orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda.”
Menariknya, dari edisi pertama (1975) hingga keempat (1984) posisi
editor SNI Jilid 6 (Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia) yang
bermasalah ini dijabat Brigjen TNI Dr Nugroho Notosusanto. Dia sejarawan
yang pernah menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI dan kemudian sebagai
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983-wafat di tahun 1985). Dia banyak
menimbulkan kontroversi, terkait tuduhan “deSukarnoisasi” dan juga
pembuatan film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang merupakan versi resmi Orba
atas peristiwa tersebut
Sepeninggal Nugroho, tugas merevisi SNI dilanjutkan oleh sejarawan Dr
Anhar Gonggong dalam wujud SNI 1993. Tapi buku ini tidak mengoreksi,
bahkan “melanjutkan” apa yang tertulis dalam edisi sebelumnya. Memasuki
masa Reformasi, dalam buku SNI Edisi Pemutakhiran dan buku 'Indonesia
dalam Arus Sejarah' pun keempat tokoh Tionghoa tadi masih ‘diasingkan”
dari BPUPKI.
Sarjana pertama yang menemukan adanya kesalahan
fakta tersebut adalah RM Ananda B Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan
dan Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Selain BPUPKI, di masa Orde Baru, catatan sejarah tentang kasus
kolaborasi Tionghoa-Jawa melawan VOC (1740-743), yang dikenal sebagai
“Geger Pacinan” pun hilang. Padahal di masa Soekarno kisah ini muncul di
dalam buku pelajaran.
Kontribusi di BPUPKI
Dua
dari keempat tokoh BPUPKI, Liem Koen Hian dan Mr Tan Eng Hoa telah
memberikan kontribusinya bagi bangsa dan republik ini. Liem bersuara
paling keras agar golongan peranakan Tionghoa di Republik ini secara
otomatis dijadikan warga negara seperti disampaikan dalam sidang kedua,
11 Juli 1945. Merujuk disertasi doktor Wikrama Iryans Abidin, Liem juga
mengusulkan perlunya jaminan kemerdekaan pers dicantumkan dalam
Rancangan UUD BPUPKI, 15 Juli 1945.
Usul itu didukung Mohammad
Hatta agar pers punya kekuatan mengawasi penguasa dan warga negara tidak
takut menyampaikan kritik pada penguasa. Tapi Soepomo dan kawan kawan
menolak dengan alasan gagasan tersebut terkait paham individualisme yang
melahirkan liberalisme-kapitalisme-kolonialisme, sedangkan paham yang
dianut bangsa Indonesia adalah paham kolektif-kekeluargaan.
Sementara
Mr Tan, seperti ditulis Gatra, 29 Agustus 2012, menulis dalam sidang 14
Juli 1945, Soepomo mengatakan bahwa Tan Eng Hoa mengusulkan ayat 3
Pasal 27, yakni: "Hukum yang menetapkan kemerdekaan berserikat,
berkumpul dan sebagainya" dijadikan sebagai pasal tersendiri. Dari
usulan Tan Eng Hoa ini, tercipta Pasal 28 UUD 1945 yang kini dikenal
sebagai pasal kebebasan berserikat.
Selain itu, dalam buku
'Lahirnya Undang-undang Dasar 1945', yang disusun ABKusuma (2004: 183),
sosok Tan disebutkan sebagai anggota BPUPKI yang mendukung ide republik
menjadi bentuk negara (Pratisto. 2012: 110-112).
*) Didi Kwartanada
menempuh pendidikan di Jurusan Sejarah, Universitas Gadjah Mada dan di
Departemen Sejarah, Universitas Nasional Singapura (NUS).