PADA
29 September 1887, para pemberontak berkumpul di rumah pimpinan mereka,
Haji Wasid, untuk membahas pengumpulkan senjata. Namun para kiai
berpendapat sebaiknya tak usah mencari senjata api. Alasannya, mayoritas
pemberontak belum bisa menggunakannya. Untuk mendatangkannya dari luar
Banten juga sulit. Mereka bisa mengandalkan kelewang dan yakin akan
memenangi perang suci melawan Belanda dan antek-anteknya.
http://www.historia.co.id/ |
Selama tiga bulan terakhir tahun 1887
hingga pertengahan tahun 1888, para pemberontak mempersiapkan diri
dengan kegiatan pencak silat, pengumpulan dan pembuatan senjata, dan
propaganda ke luar Banten. “Kegiatan lain terus dilakukan, seperti
membakar semangat dengan khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan
ajaran tentang Perang Sabil dan mendorong mereka untuk memakai jimat dan
ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan,” tulis Sartono Kartodirdjo
dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Dalam lampiran laporan Kontrolir Serang
tanggal 19 Mei 1889 No 16, Snouck Hurgronje menerjemahkan jimat Arab
yang digunakan para pemberontak Banten itu. Menurutnya, sebagaimana
dikutip E. Gobée dan C. Adriaansee dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, jimat
itu bertuliskan: “Inilah penyelamat yang diberkahi. Dengan nama Allah,
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ya Allah, ya Yang Hidup, ya Yang
Berdiri Sendiri, Engkaulah kujadikan kekuatanku. Maka lindungilah aku
dengan perlindungan selengkap-lengkapnya penjagaan...”
Di dalam jimat juga terdapat gambaran
berkekuatan mistik, berupa sebuah lingkaran yang dikelilingi nama empat
malaikat tertinggi dan nama-nama Allah; Muhammad; (empat khalifah) Abu
Bakar, Umar, Usman, Ali; (putra-putra Ali) Hasan, Husain; (dua sahabat
Nabi Muhammad) Sa’ad dan Sa’id; sementara di tengahnya terdapat surat
Thaha ayat 39. Ada pula gambar pedang Ali bermata dua. Termaktub di situ: “Tidak ada orang [pahlawan] selain Ali, dan tidak ada pedang selain Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar).”
Menurut Seyyed Hossein Nasr, ungkapan
“tidak ada orang (pahlawan) selain ‘Alî, dan tidak ada pedang selain
Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar)” atau “la fata illa ali, la saifa illa dzu al-fiqar, (dzu al-fiqar adalah pedang bermata dua terkenal milik Ali)”, secara tradisional dinisbahkan kepada Malaikat Jibril, yang dia sampaikan kepada Nabi.
“Pribadi Ali yang bijak sekaligus ksatria, perenung sekaligus pelindung, sepanjang abad senantiasa mendominasi seluruh horizon futuwwah atau Keksatriaan Spiritual,” tulis Hossein Nasr, “Kekesatriaan Spiritual”, termuat dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Tentu saja, futuwwah yang diinginkan para pemberontakan Banten dari jimat itu adalah “keksatriaan fisik”.
Hurgronje juga menulis, “Selebihnya... jimat ini hanya memuat doa-doa pengampunan dosa dan rahmatan ‘ind al-maut (rahmat dalam kematian).”
Naskah tersebut, lanjut Hurgronje, pasti
dibuat dengan pertimbangan gerakan di Banten dan dapat dipakai sebagai
jimat untuk Perang Sabil.
Jimat itu, tulis Martin van Bruinessen, diperoleh dari Mekah karena Mekah dianggap sebagai pusat kosmis utama dan sumber ngelmu atau
kesaktian. Dalam kosmologi Jawa, seperti halnya kosmologi Asia Tenggara
lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dan alam
supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung,
gua dan hutan tertentu serta tempat angker lainnya bukan hanya diziarahi
sebagai ibadah tapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu) alias kesaktian dan legitimasi politik (wahyu –istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya).
“Setelah orang Jawa mulai masuk Islam,
Mekah-lah yang dianggap sebagai pusat kosmis utama. Karena Mekah
merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam dan tempat wahyu turun kepada
Nabi, sehingga Mekah menjadi pusat keilmuan Islam,” tulis Van Bruinessen
dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik
Haji,” dimuat di Ulumul Qur’an, 1990.
Menurut Sartono, pemimpin-pemimpin
pemberontak dan pengikutnya yang disilaukan oleh keyakinan tak dapat
dikalahkan –salah satunya karena jimat– dalam Perang Sabil, tak
menyadari bahwa organisasi dan strategi militer yang lebih efektif dari
Belanda membawa mereka kepada bencana.
Satu batalyon tentara dari Batavia
memukul-mundur dan akhirnya melumpuhkan para pemberontak. Para
pemimpinnya, termasuk Haji Wasid, tewas.
Pada akhirnya, tradisi jimat (ngelmu)
lestari hingga kini dan menjadi sumber kekuatan jawara-jawara Banten.
Baik “jawara putih” yang memperoleh kesaktiaan dari sumber-sumber agama
Islam maupun “jawara hitam” dari tradisi pra-Islam, jangjawokan atau elmu Rawayan.
“Meskipun demikian, kenyataannya sulit dibedakan secara tegas antara
jawara putih dan jawara hitam karena umumnya mereka menggunakan kedua
sumber tersebut. Sehingga dijumpai praktik-praktik magis yang diawali
dengan pembacaan syahadat atau ayat-ayat Alquran kemudian disambung
dengan membaca sejenis jangjawokan,” tulis Agus Fahri Husein dalam Tasbih dan Golok.
(Historia - Hendri F. Isnaeni)